Mohon tunggu...
Sri Nurhidayah
Sri Nurhidayah Mohon Tunggu... -

Seorang ibu dengan 2 orang anak, sedang belajar menulis dan mencintai dunia pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekolah Negeri untuk Anak Pejabat

1 Juni 2016   11:04 Diperbarui: 1 Juni 2016   11:50 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berita pelaksanaan Ujian Nasional yang masih diwarnai praktik kecurangan (termasuk bocoran jawaban) mengundang keprihatinan banyak pihak. Pertengahan April lalu (13/4), Litbang Kompas merilis hasil pengumpulan pendapat dari responden di 14 kota mengenaiUN. Sebanyak 63,9 persen meyakini bahwa pelaksanaan UN tingkat SMA2016 tidak bebas dari kebocoran. Separuh lebih responden (53,2persen) tidak setuju bahwa nilai UN mencerminkan kualitas siswa. 

Kebocoran UN menjadi seperti makhluk gaib; dipercaya ada namun sulit menemukan buktinya. Menyadari keadaan ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun menjadikan kaji ulang UN sebagai agenda penting. Dalam Kilasan Kinerja Kemendikbud November 2014-November 2015 dilaporkan mengenai reformasi UN 2015. Ada empat butir reformasi tersebut, yakni UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan, merintis UN berbasis komputer, melahirkan generasi berintegritas melalui indeks integritas dalam UN, dan UN digunakan untuk mendaftar ke jenjang pendidikan selanjutnya. Dijelaskan pula kerja keras mengubah UN yang semula menggunakan bahan cetak menjadi berbasis komputer. 

Komitmen menegakkan reformasi Ujian Nasional tentunya tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu keseriusan dalam meyakinkan masyarakat untuk terselenggaranya UN yang jujur. Efek ketidakpercayaan publik tergambar pada sekolah-sekolah swasta. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sekolah-sekolah swasta yang memiliki jenjang sekolah dasar sampai menengah, tidak lagi menggunakan UN sebagai indikator utama untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Sekolah-sekolahini memiliki ujian sendiri untuk penerimaan siswa baru. Bahkan seringkali seleksi penerimaan siswa baru hasilnya telah diumumkan sebelumhasil UN keluar. 

Meraih kembali kepercayaan publik terhadap UN, utamanya terhadap sekolah negeri, membutuhkan strategi pihak internal dan eksternal. Sebenarnya dua dari tiga strategi Kemendikbud merupakan solusi dari masalah ini. Strategi itu adalah penguatan pelaku pendidikan dan kebudayaan, sertapilar perbaikan tata kelola dan pelibatan publik. Kunci utamanya adalah pelibatan publik, yang dapat mempercepat perbaikan tata keloladan penguatan pelaku pendidikan. 

Bagaimana pelibatan publik dimulai? Pelibatan publik dapat dimulai dari kewajiban pejabat negara dan pejabat pemerintah untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri, sekolah milik negara. Sudah bukanrahasia bahwa sebagian besar pejabat negara dan pejabat pemerintah menyekolahkan anak-anaknya di sekolah swasta internasional. 

Saat anak-anak pejabat publik dan pejabat pemerintah bersekolah di SD Negeri, di SMP Negeri, atau di SMA dan SMK Negeri, dapat dibayangkan dahsyatnya akselerasi perbaikan yang terjadi. Pertama, terkait perubahan kebijakan. Pemerintah tentu akan sangat berhati-hati dalam mengambil kebijakan. Selama ini efek perubahan kebijakan di sekolah negeritidak pernah dirasakan pembuat kebijakan. Pembuat kebijakan tidak pernah tahu bahwa perubahan kebijakan berdampak pada guru yang memengaruhi para siswa. Saat Kemendikbud mengeluarkan kebijakan evaluasi Kurikulum 2013, kebingungan ada di sekolah. Kebingungan yang menular ke orangtua.

Selain perubahan kebijakan masalah klasik lain di sekolah negeri adalah etos kerja guru. Bukan sekadar disiplin waktu, melainkan juga komitmen mencintai anak didik, antusiasme terhadap amanah yang diemban.Sekolah negeri adalah kebutuhan masyarakat, namun banyak sekolah negeri yang hari ini tidak berubah keadaannya seperti 10 tahun yang lalu. Yang berubah hanya buku pelajaran yang mengikuti kurikulumbaru. Bayangkan, betapa ‘berisik’ keluhan para pejabat jika mengetahui keadaan sekolah anaknya yang kurang bersih, guru kurang antusias, dan fasilitas yang alakadar. Sementara pejabat negara biasabepergian untuk studi banding dan melihat sistem pendidikan yangsangat jauh berbeda.

Pelibatan publik perlu pula melibatkan struktur Kementerian Pendidikan danKebudayaan yang telah ada sampai di kecamatan. UPTD Dinas Pendidikan Kecamatan perlu mencari jalan agar memiliki pengawas dari kalanganorangtua yang akan memberikan penilaian terhadap sekolah. Orangtuayang berkomitmen yang menjadi perwakilan di setiap angkatan. 

Para orangtua inilah yang secara bergiliran, berganti setiap tahun memberikan informasi kualitas sekolah. Jelas bukan pekerjaan mudah,namun cara ini akan menjadi sarana efektif meningkatkan kualitas sekolah daripada mengandalkan pengawas yang tidak banyak jumlahnya. Cara yang sama dapat dilakukan pula untuk jenjang Sekolah menengah.Kerewelan orangtua akan lebih memaksa dinas bekerja keras memperbaiki tata kelola sekolah. Bisa dibayangkan seandainya salah satu orangtua di sekolah negeri itu adalah pejabat pemerintah. 

Kerisauan memang selalu ada, semisal kemungkinan perlakuan istimewa untuk keluarga pejabat yang bersekolah di sekolah negeri ataupun kekhususan yang diperoleh sekolah tersebut. Namun, dengan pengawasan bersama,perbaikan tata kelola akan terakselerasi. Sekolah negeri adalah tumpuan masyarakat kebanyakan. Angan-angan belaka jika berharap pejabat negara dan pejabat pemerintah serius membenahi pendidikan terutama di sekolah negeri, sementara anak-anak mereka tidak pernah merasakan kualitas pendidikan SD negeri atau SMP negeri. Anak-anak mereka hanya mencicipi SMA negeri terbaik dan perguruan tinggi negeri terbaik. Revolusi mental telah dicanangkan, dan kuncinya adalah keteladanan, bagaimana pembuat kebijakan turut merasakan dampak dari kebijakannya. 


*Tulisan ini dimuat di opini Harian Republika, 2 Mei 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun