Tidak ada seorang ibu yang tidak menangis saat membaca berita pelecehan seksual yang dialami seorang siswa Taman Kanak-kanak di Jakarta International School (JIS). Betapa berat penderitaan ibu dan putranya... Penderitaan yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidup mereka...
Dari kasus ini, ada 3 hal yang harus menjadi catatan kita, orang dewasa. Kelalaian dan kealpaan orang dewasa adalah musibah bagi anak-anak kita.
Pembiaran
Salah satu pemberitaan tentang TK JIS sekarang adalah bahwa sekolah ini tidak memiliki izin dari Kementerian Pendidikan & Kebudayaan. Pertanyaan besarnya adalah jika membaca Wikipedia JIS berdiri sejak 1951 dan saat ini memiliki lahan seluas 190.000 meter persegi. Dijelaskan pula bahwa JIS memiliki fasilitas yang sangat lengkap terdiri dari 184 ruang kelas, 4 ruang teater, tiga kafetaria, 18 laboratorium sains dan fasilitas lainnya. Pertanyaan besarnya, bagaimana mungkin JIS bisa memiliki beragam fasilitas, terutama fasilitas untuk TK, padahal tidak memiliki izin sekolah. Bagaimana JIS mengurus IMB fasilitas sekolahnya? Apakah aparat terkait melakukan pembiaran? Dan kemana saja Dinas Pendidikan selama ini? Begitu banyak sekolah marginal mengalami kesulitan akibat belum selesai mengurus izinnya... Nah, ini bertahun-tahun tanpa izin, namun bebas menambah lahan, membangun, dan bahkan menjadi tempat studi banding puluhan sekolah lain... Inikah potret kinerja birokrasi kita?
Bangsa Minder
Seperti juga mannequin (boneka pajangan) di perbelanjaan yang sebagian besar berwajah barat, atau kecantikan yang diukur dari wajah Indo inilah keminderan kita. Tidak pernah ada teguran, evaluasi untuk sesuatu yang berbau barat di negeri ini. Semua dari Barat pasti lebih unggul...
Cobalah telaah berapa banyak sekolah yang melakukan studi banding di perpustakaan atau fasilitas JIS lainnya. Berapa banyak penelitian ilmiah (skripsi atau tesis) saat membicarakan sekolah internasional di Indonesia, JIS senantiasa menjadi salah satu rujukan. Kita silau dengan fasilitas, biaya mahal, dan tentu saja dengan 'Barat' yang terlihat kasat mata....
Mendidik = Cinta
Memiliki sekolah berarti membangun rumah bagi anak-anak kita. Bukan sekedar rumah kedua, tetapi rumah tempat anak-anak kita menghabiskan waktu saat mereka melek, saat mereka 'on'. Bekerja di sekolah, berarti memberikan cinta penuh dan kasih sayang untuk anak-anak. Ini berlaku untuk para guru, tenaga kependidikan, dan seluruh tenaga operasional (keuangan, keamanan, dan kebersihan). Budaya ini perlu dibangun terus menerus. Pertanyaan mendasarnya, mungkinkah membangun budaya cinta dan kasih sayang kepada anak pada tenaga alih daya? Bagaimana membangun budaya untuk memberikan cinta dan kasih sayang pada siswa, jika mereka yang bekerja di sekolah anak-anaknya dalam keadaan kekurangan di rumah? Bisakah cinta kasih dibangun lewat sistem keamanan, CCTV yang lengkap?