Korupsi hari ini melibatkan banyak pihak. Dari dunia kampus ada dosen dari Fakultas ekonomi, guru besar ilmu pertanian, profesor Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Pemerintahan, dan bahkan yang terbaru dosen teladan Institut Teknologi Bandung.
Di sektor pemerintah daerah, mengutip Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan, periode 2004 – Februari 2013 sudah ada 291 kepala daerah, baik gubernur/bupati/walikota yang terjerat kasus korupsi. Rinciannya, kata Djohan, Gubernur 21 orang, Wakil Gubernur 7 Orang, Bupati 156 orang, Wakil Bupati 46 orang, Walikota 41 orang dan Wakil Wali-kota 20 orang.
Wakil rakyat di DPR juga turut menjadi tersangka korupsi. Melibatkan banyak partai politik, kasusnya pun beragam mulai dari kasus alih fungsi hutan lindung, suap pemilihan dewan gubernur BI, korupsi percepatan pembangunan infrastruktur daerah dan sederet kasus lainnya.
Korupsi telah menggerogoti semua sektor kehidupan. Namun ada yang cukup aneh jika mengamati pemberitaan reaksi masyarakat terkait kasus korupsi. Hampir seluruh anggota masyarakat menyatakan kebenciannya pada korupsi dan pelakunya. Tetapi banyak hal yang mengejutkan yang justru menunjukkan bahwa kita tidak membenci korupsi.
Agama secara tegas melarang korupsi. Nahdatul Ulama pada Muktamar NU ke-30 dan Munas Alim Ulama 2002 menyatakan bahwa korupsi merupakan pelanggaran berat terhadap amanat rakyat. Bahkan para ulama NU sepakat, orang-orang NU tidak perlu menyolatkan seorang koruptor yang meninggal dunia. Namun himbauan ini sepert angin lalu saja. Menarik melihat berita di media elektronik mengenai doa bersama di Tasikmalaya untuk dosen ITB yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap. Juga berita para santri yang didatangkan di Semarang untuk menggelar pengajian ketika walikota Semarang menjadi tersangka.
Saat menjalani masa tahanan atau setelah menjalani masa tahanan, pelaku korupsi juga tetap menjalani hari-harinya seperti biasa. Dosen yang menjadi tersangka korupsi tetap memberikan bimbingan skripsi atau tesis mahasiswanya. Bahkan Menteri dalam negeri Gamawan Fauzi sampai menerbitkan surat edaran agar kepala daerah tak mengangkat lagi Pegawai Negeri Sipil yang sudah terbukti korupsi menjadi pejabat struktural. Hal yang dipicu oleh pengangkatan seorang kepala dinas di Kepulauan Riau yang pernah divonis karena kasus korupsi. Untuk anggota DPR, setiap hari baliho bertebaran di sepanjang jalan, publikasi para calon legislatif. Bersihkah mereka dari korupsi? Tidak ada yang bisa menjawab pasti.
Membaca korupsi hari ini, rasanya ketidakberdayaan yang dialami Bung Hatta kita rasakan pula hari ini. Dalam buku Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa yang ditulis Deliar Noer, dikatakan bahwa tahun 1970 Bung Hatta diangkat sebagai penasihat Presiden Soeharto dan Penasihat Komisi empat. Ini dimaksudkan untuk memberantas korupsi. Tetapi, begitu banyaknya bahan yang ia peroleh, begitu tak berdayanya ia karena terbatas pada memberi nasihat saja. Bung Hatta berkata bahwa korupsi sudah membudaya dan hanya dengan contoh dari atas, korupsi itu bisa diberantas.
Mungkin hari ini, korupsi perlu didefiniksikan ulang. Kebencian kita terhadap korupsi hanya ada di bibir saja. Tidak pernah ada koruptor mati dipukuli seperti seorang penjambret atau pencopet. Jangan-jangan kita membenci korupsi karena kita tidak kebagian, tidak punya peluang lakukan korupsi juga.. Naudzubillahi mindzalik...
Bogor, 17 September 2013
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI