Perubahan struktur ketenagakerjaan di Indonesia beberapa tahun terakhir menunjukkan dinamika yang menarik sekaligus mengkhawatirkan. Di satu sisi, ada kelompok pekerja formal yang bekerja dengan kontrak, menerima gaji tetap, dan dilindungi hukum. Di sisi lain, semakin banyak masyarakat yang menggantungkan hidup di sektor nonformal berupa bekerja tanpa kontrak, tanpa jaminan sosial, dan tanpa kepastian pendapatan. Fenomena ini memperlihatkan dua wajah dunia kerja Indonesia di mana yang satu stabil dan teratur, sementara yang lain fleksibel namun penuh ketidakpastian.
Pekerja formal biasanya bekerja di perusahaan, lembaga pemerintah, institusi pendidikan, rumah sakit, atau organisasi resmi lainnya. Memiliki hubungan kerja yang diatur secara jelas, mendapatkan upah sesuai ketentuan, dan memperoleh perlindungan sosial seperti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Kehidupan mereka relatif terencana karena pendapatan datang secara rutin setiap bulan. Bagi banyak orang, pekerjaan formal masih dianggap simbol kestabilan ekonomi dan keberhasilan sosial.
Kondisi ini tidak dialami oleh semua orang. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2025, hanya sekitar 40 persen tenaga kerja Indonesia yang tergolong pekerja formal. Artinya, lebih dari separuh angkatan kerja yakni sekitar 60 persen masih bekerja di sektor nonformal. Mereka adalah pedagang kaki lima, sopir ojek daring, buruh harian, pekerja rumah tangga, petani kecil, atau pekerja lepas di dunia digital. Kelompok ini memiliki peran penting dalam menjaga roda ekonomi, tetapi sering kali terlupakan dalam kebijakan perlindungan kerja.
Peningkatan jumlah pekerja nonformal tidak bisa dilepaskan dari perubahan ekonomi dan teknologi. Banyak perusahaan kini memilih sistem kerja fleksibel untuk menekan biaya produksi. Fenomena gig economy seperti pekerjaan berbasis aplikasi seperti Gojek, Grab, ShopeeFood, atau freelance online menjadi bukti bahwa batas antara pekerjaan formal dan nonformal semakin kabur. Di satu sisi, platform digital membuka peluang pendapatan baru. Namun di sisi lain, pekerja gig sering kali tidak memiliki kontrak kerja tetap, tidak mendapat jaminan sosial, dan berisiko kehilangan pekerjaan kapan saja tanpa kompensasi.
Pekerjaan nonformal memang memberikan kebebasan waktu dan ruang, tetapi tidak menjamin kesejahteraan jangka panjang. Sebagian besar pekerja nonformal tidak memiliki tabungan, asuransi, atau akses kredit yang memadai. Ketika terjadi krisis ekonomi atau gangguan kesehatan, mereka berada pada posisi yang sangat rentan. Berbeda dengan pekerja formal yang bisa mengandalkan gaji tetap atau pesangon, pekerja nonformal sering harus mencari cara bertahan sendiri. Hal ini menunjukkan kesenjangan perlindungan sosial yang masih besar antara kedua kelompok tersebut.
Dampak sosial dari kondisi ini juga cukup nyata. Di banyak kota besar, muncul kelompok masyarakat yang bekerja keras setiap hari tetapi tetap sulit meningkatkan taraf hidupnya karena pendapatan yang tidak menentu. Ketimpangan ini menciptakan apa yang disebut "working poor"Â yaitu orang yang bekerja penuh waktu tetapi tetap miskin. Sementara itu, pekerja formal yang memiliki perlindungan kerja relatif aman dari guncangan ekonomi. Akibatnya, jurang kesejahteraan antara pekerja formal dan nonformal semakin melebar.
Dominasi pekerja nonformal ini berdampak pada rendahnya produktivitas. Sektor informal memang menyerap banyak tenaga kerja, tetapi kontribusi nilai tambah per orang masih rendah dibandingkan sektor formal. Hal ini membuat pertumbuhan ekonomi sulit naik secara signifikan meskipun angka pengangguran menurun. Selain itu, banyaknya pekerja nonformal juga mengurangi potensi penerimaan pajak negara, karena sebagian besar dari mereka tidak tercatat dalam sistem perpajakan resmi.
Meski demikian, tidak semua dampak pekerja nonformal bersifat negatif. Keberadaan sektor ini justru menjadi bantalan sosial ketika lapangan kerja formal terbatas. Saat terjadi krisis ekonomi atau PHK massal, banyak orang beralih ke sektor nonformal sebagai cara bertahan hidup. Dengan demikian, sektor ini berperan penting dalam menjaga stabilitas sosial dan ekonomi di tingkat masyarakat bawah. Fleksibilitas yang dimilikinya menjadi kekuatan tersendiri di tengah dunia kerja yang terus berubah.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki kondisi ini. Program jaminan sosial bagi pekerja nonformal, seperti BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja mandiri, mulai diperluas. Selain itu, program pelatihan dan sertifikasi keahlian berbasis digital juga digalakkan untuk membantu pekerja nonformal beralih ke sektor formal. Namun, tantangan utamanya adalah bagaimana memastikan kebijakan tersebut benar-benar menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama di daerah pedesaan yang akses informasinya masih terbatas.
Ke depan, idealnya tidak ada lagi kesenjangan tajam antara pekerja formal dan nonformal. Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat perlu membangun sistem ketenagakerjaan yang lebih inklusif di mana setiap orang yang bekerja, apa pun statusnya, memiliki perlindungan dasar yang sama. Pekerjaan seharusnya bukan hanya soal bertahan hidup, tetapi juga tentang martabat dan kepastian masa depan.
Dengan semakin cepatnya perkembangan teknologi dan perubahan ekonomi global, batas antara pekerjaan formal dan nonformal akan terus bergeser. Yang paling penting adalah memastikan setiap pekerja mendapatkan hak-haknya, baik dalam bentuk upah layak, jaminan sosial, maupun kesempatan pengembangan diri. Hanya dengan cara itu Indonesia dapat membangun dunia kerja yang adil, produktif, dan berkelanjutan bagi semua.