Mohon tunggu...
Sri Kasnelly
Sri Kasnelly Mohon Tunggu... Dosen

Dosen IAI An-Nadwah Kuala Tungkal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pembuka Tabir: Anak, Ibu dan Guru

19 Mei 2025   05:50 Diperbarui: 19 Mei 2025   05:50 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pak Fadhil adalah sosok yang dikagumi banyak orang. Ia guru agama yang dikenal santun, tutur katanya lembut, dan sering dijadikan tempat bertanya tentang hidup dan hati. Ia tidak hanya mengajarkan ilmu, tapi juga menyampaikan nilai-nilai dengan suara tenang yang menyejukkan. Di mata wali murid, ia seperti guru ideal yang tak hanya membimbing anak-anak, tapi juga mampu menyentuh hati para orang tua.

Nisa, seorang ibu rumah tangga, awalnya hanya sesekali bertukar pesan dengan Pak Fadhil tentang perkembangan Alif, anaknya yang menjadi murid beliau. Tapi waktu membawa mereka pada percakapan yang lebih dalam, tentang rumah tangga, tentang luka yang tak pernah sembuh, dan tentang rasa yang tumbuh diam-diam di sela-sela kata bijak dan doa-doa manis. Nisa bukan perempuan lemah, tapi ada bagian dari dirinya yang lama tak dipeluk kehangatan. Dan Fadhil, dengan segala kehalusan bicara dan pemahaman yang luas, tahu di mana letak sunyi itu berada.

Tak ada janji. Tak ada pertemuan rahasia. Tapi setiap pesan yang dikirim malam-malam adalah jembatan yang perlahan menuntun hati melangkah keluar batas. Mereka sama-sama tahu itu keliru, tapi manusia seringkali lebih takut kehilangan rasa hangat daripada melanggar aturan yang tak tertulis.

Suatu hari, Alif meminjam ponsel ibunya. Tak sengaja ia membuka pesan lama, dan membaca obrolan yang tak seharusnya ia lihat. Tangannya gemetar, bukan karena marah, tapi karena bingung. Gurunya. Ibunya. Dua sosok yang ia hormati, ternyata menyimpan rahasia yang tak ia mengerti.

Tanpa banyak kata, Alif menunjukkan pesan itu kepada ayahnya, Pak Damar, seorang anggota dewan yang lebih sering berada di luar rumah daripada di dalamnya. Tak ada bentakan. Tak ada keributan. Hanya keheningan panjang, lalu keputusan yang jatuh begitu saja: Nisa tidak lagi memegang ponsel pribadinya. Nomor yang lama diganti. Komunikasinya dibatasi. Suaminya, dibantu keluarganya, menutup semua akses yang memungkinkan hubungan itu berlanjut.

Sejak saat itu, bukan Nisa lagi yang mengantar Alif ke sekolah. Pak Damar yang mengambil alih, diam-diam mengatur ritme keluarga dengan lebih ketat. Bukan hanya demi menjaga wibawa, tapi juga untuk menyelamatkan sesuatu yang telah goyah: kehormatan di mata publik. Nisa hanya menjalani hari-harinya di rumah, seperti hantu yang berjalan tanpa suara.

Namun, kabar di lingkungan tak bisa dibungkam selamanya. Orang-orang mulai berbicara, diam-diam, dari balik pintu dan di antara cangkir kopi. "Itu kan guru agama yang itu..." bisik mereka. "Katanya deket sama salah satu wali murid..." Semakin dibungkam, semakin kabar itu menyebar. Mereka yang tahu memilih diam. Mereka yang curiga memilih menyindir. Tapi tak ada yang benar-benar ingin menyelesaikan, karena yang terlibat adalah tokoh agama dan pejabat. Aib harus dijaga, bukan diadili.

Bu Rini, istri Pak Fadhil, mulai tahu. Ia tidak marah di depan umum. Ia hanya menjadi lebih sunyi dari biasanya. Sebuah keheningan yang lebih menyakitkan daripada amarah. Ia tahu bahwa luka ini akan lama sembuhnya. Ia memilih berdiri, bukan untuk memaafkan, tapi karena ia tak tahu harus ke mana.

Nisa menjalani hari-harinya dalam pandangan yang tak lagi sama. Ia tidak membela diri, juga tidak menangis di depan siapa-siapa. Ia hanya belajar untuk diam, karena semua kata yang ingin ia ucapkan tidak lagi punya tempat. Dunia mengecil baginya, dan setiap langkah terasa seperti berjalan di dalam penjara yang dibangun dari keputusan sendiri.

Pak Fadhil tetap mengajar, tetap tersenyum, dan tetap menunduk saat berdoa. Tapi di dalam hatinya, ia tahu ada bagian dari dirinya yang tak lagi utuh. Ia kehilangan sesuatu: bukan jabatan, bukan reputasi, tapi ketenangan hati yang dulu ia banggakan. Kini, setiap kata nasihat yang ia ucapkan seolah menggema kembali ke dadanya sendiri, menjadi pengingat bahwa bahkan seorang guru bisa tergelincir saat terlalu yakin dengan kekuatan dirinya.

Masyarakat lebih suka melupakan jika itu lebih mudah daripada memaafkan. Maka kasus itu perlahan mengendap. Tidak menguap, tapi mengendap. Ada yang tahu, ada yang pura-pura tidak tahu. Ada yang mencibir, ada yang mendoakan diam-diam. Tapi tak ada yang benar-benar bersih dalam cerita ini karena diam juga bagian dari persekongkolan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun