Saat itu sang surya bersinar sangat terik. Bulan Ramadan adalah waktu menahan lapar dan dahaga di siang hari sampai menjelang waktu salat Magrib. Berpuasa di bulan Ramadan sebagai wujud melaksanakan ibadah di bulan suci penuh berkah. Jalanan kompleks terlihat sangat sepi karena orang memilih beristirahat dalam rumah nan sejuk. Beberapa ekor kucing liar yang sering dijumpai nongkrong di dekat tong sampah juga tidak menampakkan batang hidungnya. Tampaknya kucing dan hewan liar lainnya yang sering berkeliaran juga ikut berpuasa selama berjalannya bulan penuh rahmat ini.
Siang itu Raga bersama Babul- adiknya, pulang ke rumah berjalan kaki setelah mengaji dan salat Zuhur di masjid. Raga- nama anak lelaki berambut keriting itu refleks menutup mata saat lewat di depan gerobak penjual sirop warna-warni yang mangkal di bawah sebatang pohon flamboyan. Hijauan nan adem di sekitar lapangan bola dekat masjid memang menjadi tempat mangkal bentor dan aneka gerobak penjaja dagangan. Segera dia menggandeng tangan adiknya supaya berjalan lebih cepat untuk tiba di rumah. Nafas Raga tersengal-sengal karena merasakan dadanya sesak menahan haus luar biasa. Cucuran keringat telah membasahi kemeja yang dikenakannya. Raga mengeluh dalam hati, inilah godaan terberat untuknya melewat di depan penjual es sirop saat siang hari.
"Ayo... ayo... jajan sirop enak di sini Dik," ajak Abang penjual es. Bibirnya menyeringai lebar mengajak Raga dan adiknya singgah ke gerobak dagangannya. Mata komersil Abang penjual es sirop melihat sinyal lembaran rupiah pada kedua bocah ini. Raga dan Babul adalah sumber potensil menjadi pelaris dagangannya di tempat itu.
"Aku tidak mau membatalkan puasaku," Raga berkata tegas pada si penjual sirop. Anak lelaki itu mempercepat langkahnya, mencoba menjauh dari hadapan Abang penjual es yang cengengesan.
"Ayolah... Abang kasih kamu setengah gelas sirop gratis, setelah itu kamu bayar untuk gelas berikutnya. Apakah kamu tidak kasihan pada adikmu yang dahaga? Lihatlah wajahnya memerah karena menahan terik matahari," Abang penjual sirop terus berkicau sambil mengikuti langkah cepat Raga. Suaranya terdengar sangat menyakitkan gendang telinga orang yang sedang berpuasa. Raga menoleh melihat adik lelaki yang berada di sisinya. Dia melihat Babul melap dengan lengan baju, keringat bercucuran membasahi dahinya yang mungil. Kopiah yang dikenakannya sudah miring ke sana kemari.
"Hei... apakah kamu mau mencoba sirop enak buatanku Adik ganteng?" rayu Abang penjual sirop pada Babul, adiknya Raga yang berjalan terseok-seok kehausan di sisi sang Kakak. Mata Babul berbinar ceria melihat gerobak berisi botol berisi sirop warna-warni. Dia segera mencolek lengan sang Kakak.
"Ayo kita coba sirop itu Kak, mumpung gratis dan tidak dilihat oleh Ibu," terdengar perlahan suara Babul di bawa angin lewat. Raga membelalak marah pada adiknya.
"Tuh kan, adiknya mau coba. Sini Abang kasih gratis setengah gelas. Mau sirop warna apa Adik ganteng?"
Si Abang penjual tersenyum sumringah. Jarinya yang berkuku panjang kotor menunjuk ke berbagai botol berisi sirop warna-warni meriah berjejer rapi di gerobaknya. Dia menggoyang-goyangkan gelas berisi potongan es batu di depan wajah Babul yang matanya membulat menahan dahaga. Ekspresi anak kecil itu tidak dapat berbohong. Dia sungguh kehausan diterpa sinar matahari yang begitu menyengat selepas salat Zuhur. Matahari musim kemarau saat bulan Ramadan memang dahsyat. Sinar teriknya mampu menggugurkan daun pohon jati  di sekitar lapangan bola yang mereka lalui. Jejeran pohon gundul itu diam terpaku. Mereka menjadi saksi Raga dan Babul melawan rayuan maut penjual sirop warna-warni.
"Apa-apaan ini? Allah melaknat orang yang tidak melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan. Ayo pulang!" Raga menarik paksa adiknya yang ingin memilih sirop gratis. Babul sudah  terbujuk rayuan maut si Abang penjual sirop. Mata sang adik terus melihat ke arah gerobak itu. Raga berusaha keras menyelamatkan puasa adiknya dari godaan iblis laknat berwujud penjual sirop warna-warni yang tertawa terkekeh penuh godaan di hadapannya.