Salah satu aspek sentral dalam pemikiran politik Islam adalah konsep imamah, yang mengacu pada kepemimpinan otoritatif dan spiritual yang dianggap memiliki otoritas tertinggi dalam menegakkan hukum Islam dan memimpin umat. Namun penerapan konsep ini menjadi kontroversi dunia Islam sendiri, terutama ketika menjadi legitimasi tindakan kekerasan dan terorisme.
Sunni dan Syiah sebagai kelompok Islam besar memiliki perbedaan tradisi konsep imamah. Imamah dalam Sunni mengacu pada kepemimpinan politik yang dipilih oleh umat muslim berdasarkan kualitas kepemimpinan, spiritual dan keturunan setelah dievaluasi dan diverifikasi melewati proses formal kompetensi dan profesionalismenya. Sedangkan dalam Syiah, konsep imamah lebih dikhususkan dengan menekankan kepemimpinan politik dan spiritual hanya boleh dimiliki oleh keturunan Nabi Muhammad SAW. Penganut Syiah meyakini imam mereka mempunyai otoritas ilahi untuk menginterpretasikan hukum Islam dan memimpin umat secara mutlak tanpa menyisakan ruang bagi yang lain.
Beberapa tahun belakangan ini narasi-narasi pendirian khilafah kembali menyeruak dan begitu masif memasuki ranah media sosial tempat dimana generasi muda kini berinteraksi, khususnya di Indonesia. Penegakkan khilafah pun sudah menjangkiti berbagai lini. Klaim kelompok pengusung khilafah untuk mendirikan khilafah adalah bertujuan mengembalikan kepemimpinan Islam yang benar. Namun, sangat disayangkan tindakan dan cara yang ditempuh seringkali bertentangan dengan nilai-nilai keaejatian Islam itu sendiri. Kekerasan dan terorisme yang sangat bertentangan dengan nilai kasih sayang dan prinsip keadilan sering digunakan untuk mencapai tujuan mereka.
Selain itu klaim khilafah bisa dimaknai pemaksaan kehendak yang tidak sah atas umat Islam dan melanggar nilai-nilai Islam yang mendasar. Hal ini bisa kita lihat dari cara para pengusung khilafah menjustifikasi penindasan dan penaklukan atas orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka. Mereka juga  seringkali mengabaikan prinsip konsultasi dan persetujuan umat, mendorong kepatuhan buta dan taat kepada otoritas mereka tanpa memberikan ruang pemikiran kritis atau kebebasan berpendapat.
Jadi bisa kita katakan bahwa khilafah, alih-alih mewakili kepemimpinan Islam yang benar, lebih mewakili pemahaman yang dangkal dan terdistorsi dari ajaran Islam yang sejati, berpusat pada klaim otoritas yang absolut tanpa mempertimbangkan konteks sejarah, teologi, dan etika Islam.
Sangat penting bagi seorang pemimpin untuk mengadopsi pendekatan yang kontekstual dan berbasis nilai dalam memahami konsep kepemimpinan, yaitu menghargai prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, dan toleransi yang mendasari ajaran Islam secara keseluruhan. Hal tersebut dapat menjadi landasan untuk kepemimpinan yang adil, bijaksana, dan bertanggung jawab dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam dan kemanusiaan secara luas.
Negara Islam dan Imamah yang hanya mewakili pemikiran kelompok ekstremis dan radikal perlu kita tolak sebaliknya kita harus promosikan pemahaman Islam yang inklusif dan toleran serta kesejatiannya.