Banyak penelitian dan kajian yang mengatakan bahwa kearifan lokal bisa menjadi penangkal paham radikal. Kearifan lokal juga bisa bisa menyuburkan keragaman yang ada di negeri ini. Indonesia merupakan salah satu negara yang dianugerahi banyak sekali nilai-nilai kearifan lokal, yang tersebar dari Aceh hingga Papua.Â
Dan semuanya itu kemudian diadopsi dalam dasar negara, Pancasila. Meski berbeda-beda, mereka tetap satu Indonesia dalam keragaman bhineka tunggal ika.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pernah melakukan survei di 32 provinsi yang melibatkan 14.400 responden, menyebutkan bahwa 63,60 persen responden memilik kepercayaan yang tinggi, bahwa kearifan lokal bisa jadi senjata untuk melawan paham radikal.Â
Wahid Istitut juga pernah menyarankan, agar menghidupkan kembali ruang berkumpul, agar bisa dijadikan masyarakat untuk saling mengenal dan tidak saling curiga satu sama lain. Allah SWT juga menganjurkan agar antar manusia saling mengenal satu dengan yang lainnya.Â
Karena Allah menciptakan manusia penuh dengan keberagamannya. Jika antar manusia bisa saling mengenal dan memahami, diharapkan akan sulit dipecah belah dan disusupi oleh paham radikal.
Kearifan lokal itu sendiri merupakan adat istiadat yang menjadi kebiasaan masyarakat secara turun temurun. Kearifan lokal masih relevan dilakukan pada saat ini.Â
Contoh, nilai-nilai seperti gotong royong, tepo seliro, tenggang rasa masih sangat relevan diimplementasikan dalam kondisi apapun. Apalagi dalam kondisi sekarang, ketika pandemi covid-19 masih terus menghantui semua orang di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Contohnya adalah budaya tepo seliro dan unggah ungguh yang ada di masyarakat Jawa. Budaya ini merupakan budaya saling menghormati antar sesama. Yang muda menghormati yang tua.Â
Yang tua menghargai yang muda. Sementara tepo seliro adalah tenggang rasa antar sesama. Saling peduli tanpa harus menanyakan apa latar belakangnya. Tak peduli teman, saudara, atau bahkan orang batu kenal, jika memang membutuhkan pertolongan maka perlu dibantu.