Jika di tempat-tempat tersebut gunung Salak yang dicuri, di jalan Jenderal Sudirman, gunung Gede dan Pangrango yang dicuri.

Di sebagian tepian jalan yang masih terbuka, taman yang disediakan terasa sangat setengah hati berada di sana. Semak-semak yang tidak tertata rapi menutupi pemandangan terbuka ke arah lembah dan gunung Gede dan Pangrango. Padahal dari taman-taman inilah seharusnya kedua gunung itu bisa terlihat bagaikan bersatu padu di dalam selimut kabut tipis di setiap pagi yang cerah.
***
Gunung-gunung itu, pemandangan-pemandangan itu, saat ini sudah tidak dapat lagi dinikmati oleh publik warga kota secara seluas-luasnya. Milik umum, kekayaan publik, hak warga kota telah berubah menjadi milik pribadi. Kemudian jika ingin menikmatinya, publik harus menumpang makan, tentu saja dengan harga tertentu, di kafe-kafe, restoran-restoran, hotel-hotel, dan ruko-ruko yang telah memonopolinya.
Padahal pemandangan tersebut bukanlah sekadar pemandangan belaka, melainkan merupakan bagian tak terpisahkan dari ruang publik kota, tempat warga kota bisa berkumpul dan beraktivitas, kemudian menjadi potensi ekonomi untuk publik secara luas, dan ia adalah salah satu daya tarik utama sebuah kota yang ikut mengundang pengunjung berdatangan dari kota lainnya. Dan lebih dari itu semua, ruang publik, terlebih lagi yang memiliki pemandangan yang indah, adalah faktor penting untuk kesehatan jiwa dan raga warga kota.
***
Mungkin fenomena tercurinya gunung-gunung dan pemandangan memang merupakan risiko yang harus diterima oleh sebuah kota yang berkembang, yang melakukan pembangunan, yang hidup secara ekonomi. Tanah-tanah dibeli dan dikembangkan, aktivitas ekonomi berjalan, menghasilkan pemasukkan untuk negara, dan - jika semua berjalan dengan semestinya - akan dikembalikan lagi kepada masyarakat.
Mungkin hilangnya gunung-gunung dan ter-privatisasi-nya pemandangan adalah hal yang tak terelakkan manakala pembangunan dilakukan pada tanah-tanah yang secara legal memang sah milik sang empunya.
Tetapi dalam situasi seperti ini seharusnya negara bisa menjadi penengah dari kontradiksi yang terjadi, melindungi agar sesedikit mungkin terjadi pelanggaran kepentingan dari berbagai pihak, dan mencari akal secara rasional dan logis untuk mendapatkan jalan keluar yang paling baik agar masing-masing pemilik hak - baik privat maupun publik - tidak terenggut dari haknya.
Sama seperti ketika negara menentukan angka-angka untuk GSJ, GSB, KDB, KDH, KLB, dan ketinggian bangunan maksimal, alat negara untuk mendamaikan kepentingan-kepentingan tersebut adalah regulasi. Regulasi yang lebih dipikirkan dengan lebih baik lagi, regulasi yang terencana dengan matang, regulasi yang disesuaikan dengan kondisi nyata di lapangan, regulasi yang bertujuan untuk menciptakan suatu tata-kelola ruang kota yang lebih baik dan cerdas.