Mohon tunggu...
Soufie Retorika
Soufie Retorika Mohon Tunggu... Penulis - Penyuka seni, budaya Lahat

Ibu rumah tangga, yang roastery coffee dan suka menulis feature, juga jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sumirah Dusun

1 Juli 2021   23:18 Diperbarui: 1 Juli 2021   23:39 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kamu tahu tidak sih....
Kalau saya ini bukan hanya mengurusi kamu,
Tapi masih banyak lagi kamu-kamu-kamu dan,
Kamu yang lainnya harus diurusi,
Dan. Urusan saya bukan masalah sepele itu,
Masih banyak masalah besar lainnya.
Begitu isi amarah Nyonya Jelita cantik,
Pada pembantunya, Sumirah yang orang dusun.
....
Ohh,
Maaf nyonya, saya tidak tahu....
Soalnya saya tadi perlu uang tiga puluh ribu,
Beli obat di warung buat anak yang sakit.
Karena... Karena.... Nyonya juragan saya,
Maka saya pinjam uang pada nyonya,
Jawaban Sumirah pasrah, dengan wajah memelas ketakutan,
Menghadapi Nyonya Jelita yang murka atas pengaduan sepele seorang pembantu,
....
Lalu... Sembari  j kuku kukunya yang lentik,
Kuku yang biasa diciumi tuan tua bangka,
Nyonya Jelita mengatakan dengan sengit,
"Hutang kamu sudah banyak, mau pinjam lagi?"
"Makanya kerja jangan pinjam uang melulu, dasar orang dusun."
Tertunduk lesu, paras pasrah dengan hinaan yang begitu menyakitkan.
Paras gontai Sumirah, membayangkan anaknya di rumah yang sakit asma, terbujur membeku dengan napas terpapar separuh- separuh.
Jangan kan untuk membeli obat, membeli beras satu kilogram pun,
Sumirah sudah tak sanggup.
Gajinya sebagai babu di rumah Juragan Burhan dan Nyonya Jelita hanya tiga ratus ribu rupiah.
Anak tiga dengan mulut mengangga, dan masih kecil-kecil.
Hanya di tambah penghasilan Mang Samin si suami sebagai tukang ojek,
Tak memperkokoh pondasi ekonomi rumah tangga mereka.
Jarak rumah Juragan Burhan cukup jauh, sekitar lima kilometer.
Berjalan kaki, atau menumpang ojek butut Mang Samin.
Hutang Sumirah pada Nyonya Jelita sudah mencapai lima ratus ribu rupiah, seperti tali kekang mengikat lehernya... Terasa membunuh.
Di rumah mereka sudah tak ada lagi harta yang dimiliki untuk dijual.
Hanya kasur butut, lemari kayu reot, perkakas makan plastik tua.
Sebetulnya Sumirah enggan meminjam pada Nyonya Jelita, setelah rangkaian syair kotor keluar dari mulut Nyonya.
Memilukan....
Dengan menahan malu, berjalan gontai,
Rintihan doa mengiringi langkah kaki menuju rumah Nyonya Jelita.
Berharap senyum manis seperti kembang gula,
Tersungging dari bibir cantik berwarna merah muda, milik Nyonya Jelita.
Tertuang kata merdu meminjamkan uang.
Bukan gurauan sarkasme dan hinaan,
Sayang seribu sayang, ciut hati Sumirah mendengar gelegar suara si Nyonya.
Perjalanan lima kilometer yang ditempuhnya tiada berarti.
Pupus harapannya,
Semburan lahar panas muncul dari mulut manis terdidik menjadi nenek sihir.
Di rumah, Maimun anaknya tergolek tak berdaya.
Dengan napas naik turun tak beraturan, membuat Samsudin yang menunggu Maimun makin takut,
Bibir makin memutih, menerawang mata Maimun.
Mang Samin belum mendapatkan sepeserpun, motor mogok tak bisa diservis tanpa biaya.
Hanya kepasrahan terpanjat dari doa mereka.
Semoga dengan obat sisa sebutir bisa menyembuhkan Maimun.
Oh.. pilu.. oh duka menjauhlah.
Lirih pasrah Sumirah.

Lahat, Juni 2014-2021

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun