Mohon tunggu...
Soufie Retorika
Soufie Retorika Mohon Tunggu... Penulis - Penyuka seni, budaya Lahat

Ibu rumah tangga, yang roastery coffee dan suka menulis feature, juga jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kakekku H. Ibrahim

1 Mei 2019   15:30 Diperbarui: 1 Mei 2019   16:00 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Note :

Tulisan ini feature yang kubuat Idul Fitri 2013 lalu. Aku sedang rindu bapak, ibu dan rumah itu... 

Salam Kompal....


Membangkitkan memori masa kecil dalam keluarga besar seperti
mengarungi samudera luas, tidak banyak cerita dari bapak almarhum H
Dja'far Ibrahim yang merupakan orang tua penulis menceritakan tentang
silsilah keluarga besar. Tidak mudah membangkitkan memori masa kecil
untuk menggambarkan tentang keluarga besar bapak. Acara kumpul
keluarga  ketika perayaan hari besar umat muslim misalnya Idul Fitri
dan Idul Adha adalah wadah berkumpul keluarga dari garis keturunan
bapak yang wajib kami lakukan yang hingga kini masih terbayang. Yang
pernah kuingat adalah di Kertapati, Sungki, Palembang di dinding rumah
Hj Siti Khadijah, kakak perempuan dari Bapak yang juga sudah tiada. Di
rumah tersebut selain ada silsilah dari para nabi dan rasul, terdapat
pula silsilah keluarga. Sayangnya nama-nama mereka tidak teringat
jelas.

Tak pupus kenangan masa kecil di tahun 1980 an, kala itu penulis masih
berusia 5 tahun. Masih tersisa meja kerja dan laci-laci milik Almarhum
H Ibrahim bin Sidin yang merupakan orang tua dari H Dja'far Ibrahim di
kawasan 20 Ilir I, Palembang, Sumatera Selatan. Kotak alat tulis
berbentuk tabung berisi pensil HB, 2B lalu tinta cina berwarna hitam
dan merah, bulu unggas yang diruncingkan ujungnya tercelup di botol
tinta yang tersedia menjadi media menulis dan gambar. Tulisan Bapak,
Ibuku Wiesmaniyati bersambung menjadi indah dipandang mata tiap kali
melihatnya.

Kami tinggal di  komplek pemukiman keluarga bapak di sana dengan
arsitektur rumah panggung Palembang kuno masih terdapat jejaknya
hingga kini menyisakan satu saja.  Almarhum H Ibrahim adalah kakek
atau biasa dipanggil Bakwo oleh kami. Awal Agustus 2013 setelah Idul
Fitri tak lama penulis masih membongkar-bongkar lemari di kamar tidur
bapaknya H Dja'far Ibrahim menemukan kembali Al Qur'yang belum selesai
ditulis Bakwo. Lembaran Al Qur'an itu berkulit hitam merupakan buatan
tangan Bakwo, berukuran sekitar 30 cm X 15 cm dan ketebalannya lebih
dari 3 cm. Kertas ukuran A4 diperkirakan, yang kondisi kini berwarna
kecoklatan dan terlihat kasar tekstur dari kertas yang ada.

Dari cerita bapak bahwa Bakwo memang banyak mengetahui masalah agama,
perjuangan di Palembang dan kelihatan sebagai pemikir, ternyata tidak
banyak diketahui orang banyak di masa itu.  Bakwo memiliki istri
bernama Pakiyem, dan belasan anak ini ternyata seorang pemikir dan
penulis, salah satu karyanya yang belum selesai adalah Al Qur'an
tulisan tangannya dengan menggunakan pensil, tinta cina hitam dan
merah. Ujung bulu unggas yang menjadi mata pena yang dicelup ke dalam
tinta cina ini membayangkan betapa rapi tulisan yang digoresnya. Namun
Al Qur'an tulisannya tersebut belum selesai hingga akhir hayatnya.
Alat tulis yang di pakai kala itu diperkirakan sebelum 1950 an awal
penulisan di tiap lembar, kotak pensil berbentuk tabung, botol tinta
cina berwarna hitam dan merah, masih dilihat penulis hingga terakhir
di tahun 1980 an. Buku-buku dan tulisan Bakwo juga saat itu masih ada
di rumah panggung itu. Terakhir H Dja'far Ibrahim menyimpan Al Qur'an
ini.

Saat penulis membuka lembar demi lembar terlihat masih banyak koreksi
yang dilakukan oleh H Ibrahim, beberapa coretan pensil tipis-tipis
terlihat. Sementara ejaan yang sudah benar diberi tanda dengan tinta
hitam atau merah. Sekilas dari kejauhan bila belum paham terlihat
bukan seperti hasil tulisan tangan namun seperti cetakan mesin. Namun
bila diteliti dengan seksama terlihat goresan-goresan indah dari
tangan Bakwo tersebut. Ucapan dari salah satu almarhum anaknya yakni
Drs H Dja'far Ibrahim adalah keinginan agar salah satu anak atau
cucunya bisa melanjutkan dan menyelesaikan pengarapan Al Qur'an ini
sampai selesai.

Rumah panggung yang ada saat ini hanya milik anak perempuan almarhum H
Ibrahim yakni almarhum Hj Siti Zaenab yang saat ini ditinggali cucu
dan cicitnya. Diperkirakan H Ibrahim  lahir sekitar 1850 dilahirkan di
Jakarta sebagai  seorang Betawi. Pekerjaannya sebagai pegawai Stanvac
atau salah satu perusahaan perminyakan di Palembang masa itu. Istri H
Ibrahim, Pakiyem aslinya dari Kebumen tinggal di Lorong Lebak atau
sekitar 20 Ilir. H Ibrahim juga seorang ahli pengobatan, selain ahli
agama, dan dirinya juga termasuk pejuang saat perjuangan lima hari
lima malam di Palembang. Sang istri sendiri lebih dulu wafat yakni,
Pakiyem meninggal tahun 1940-an saat H Dja'far Ibrahim berusia sekitar
3 tahun kala itu.

Sebelum meninggal H Ibrahim sakit-sakitan dan wafat sekitar tahun
1952, namun sejak sakit ia tidak lagi melanjutkan menulis Al Qur'an
tersebut. Sehingga diperkirakan dirinya mengerjakan Al Quran tersebut
sebelum ia sakit.

Al quran yang ditulisnya tersebut memang belum selesai, namun memang
tulisannya sangat indah dan goresannya begitu lembut. Diawali dengan
tulisan dengan pensil. Setiap penomoran diberi bulatan tinta merah dan
tulisan ayat demi ayat ditulis dengan tinta hitam. Beberapa koreksi terlihat di sana-sini meski terlihat belum selesai.

Anak H Ibrahim sendiri ada 12 orang, nama-nama anaknya yang diketahui antara lain H Arsyad, Mahidin, Usman,  Hj Siti Khadijah, H Abdul Ghafar, Hj  Siti Zaenab,  H Djafar Ibrahim, dan  Harun  yang wafat di usia 1 tahun. Sementara nama-nama anak lainnya tidak diketahui. H Ibrahim dan sebagian anak-anaknya  ini dimakamkan di TPU Kamboja Palembang. Cucu dan cicit mereka masih sering benziarah ke sana, tanpa mengubah nisan makam lama  tersebut.

"Saya memang tidak banyak tahu, tentang kakek H Ibrahim Almarhum. Karena beliau
wafat sewaktu Bapak saya H Djafar Ibrahim berusia sekitar 20 tahun sementara saya sendiri belum lahir," jelas Fajar Wijaya salah satu cucunya yang merupakan kakak penulis.

Al Qur'an ini sengaja menurut Fajar, disimpan ayahnya. Karena sangat
menginginkan bisa diteruskan menulis dan mengkoreksinya. H
Ibrahim memang hafal Al Qur'an, dan keseharian dengan kesederhanaan
terlihat dari beberapa peninggalannya dahulu. Kebanyakan anak-anak
Almarhum memang sedikit banyak paham masalah keagamaan menurun dari
dirinya.

"Saya dan keluarga hanya menjaga saja peninggalan beliau
sebaik-baiknya. Insya Allah kalau ada salah satu cucu yang bisa
melanjutkan penulisannya itu itu yang diharapkan orang tua," lanjut
Fajar. Pembicaraan berlanjut hingga tengah malam, mengenai banyak
kemampuan yang dimiliki H Ibrahim dalam biidang keagamaan. Dan tidak
banyak orang yang mengetahui sejarah yang tersimpan rapi seperti Al
Qur'an ini keluarga tersebut berharap hingga nanti Al Qur'an ini bisa
terus terjaga dan terselesaikan. Sumber sendiri menginginkan tidak
disebutkan lokasi keberadaan Al Qur'an ini.

Salah satu ayat Al Qur'an tulisan H Ibrahim yang belum selesai | dokpri
Salah satu ayat Al Qur'an tulisan H Ibrahim yang belum selesai | dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun