Mohon tunggu...
Sukiman kastowo
Sukiman kastowo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Binnealle: Mengenang Catrostopic Catasviore, Asteric di Layar 2009

12 Desember 2016   20:14 Diperbarui: 12 Desember 2016   20:31 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Lovis Ostenrik , rin tintin dan Angki  wongcheong Hoy di  bineale 2009  mengenang cataviore, . Kompasiana- sore -Di antara sekian karya yang saya saksikan di Biennale de Lyon 2009 ini, sebuah karya yang cenderung sederhana dari seniman Malaysia, Wong Cheong Hoy. Karyanya berjudul “Days of Our Lives”, terdiri dari 12 frame karya berukuran kurang lebih 60 X 40 cm, menggabungkan beberapa teknik/media visual yang berbeda: lukisan, fotografi, instalasi dan performans. Dari kejauhan, karya-karya itu seperti karya fotografi yang biasa, tetapi jika kita mendekat, kita bisa melihat bahwa karya dari seniman senior Malaysia yang telah banyak tampil di biennale bergengsi itu mengandung relasi yang sangat kuat antara lukisan dan fotografi. Bagi saya, yang menarik bukan hanya persoalan teknis, dimana Wong menggunakan fotografi sebagai modus penciptaan yang utama, tetapi terlebih lagi pada pertanyaan-pertanyaan yang muncul seputar relasi antara fotografi dan lukisan dalam ranah sejarah seni rupa kontemporer. 

Days of Our Lives menampilkan fotografi dengan teknik olahan digital yang dibuat menyerupai lukisan-lukisan Eropa di abad pertengahan, terutama yang dikenal beredar di gereja. Wong mendasarkan lukisan-lukisannya pada koleksi dari Museum of Fine Arts of Lyon. Yang menarik, semua lukisan tersebut dikonstruksi menjadi imaji fotografi dengan model-model dari Malaysia, yang menunjukkan keragaman latar belakang etnis. Beberapa di antara karya tersebut bahkan membuat setting yang nuansanya lebih kontemporer, dengan simbol visual dan sudut pandang yang serupa. Di luar karya ini mendapatkan banyak perhatian karena isunya yang cukup penting dan relevan dengan relasi Eropa-Asia belakangan ini, secara visual bentuk yang ditawarkan oleh Wong meninggalkan ingatan yang kuat di kepala.

Saya sendiri, telah beberapa saat sebelumnya makin tertarik untuk melihat kembali relasi antara fotografi dan lukisan, tetapi pada karya inilah saya menemukan bagaimana relasi keduanya menjadi sesuatu yang sifatnya konseptual dan mengandung banyak kritisisme mengenai posisi masing-masing dalam sejarah panjang seni rupa. Dalam ranah seni rupa kontemporer belakangan, terutama dalam peta lingkup trienal dan biennale, kita melihat bahwa fotografi merupakan medium yang cukup dominan, dibandingkan dengan lukisan. 

Eksposure media massa pada pameran-pameran internasional ini acap menunjukkan betapa fotografi ditempatkan sebagai medium yang lebih “mengandung wacana” ketimbang lukisan. Ketimbang terlibat dalam perdebatan yang lebih jauh mengenai siapa yang lebih kontemporer di antara keduanya, saya lebih tertarik untuk menelusuri kembali keterkaitan keduanya dalam praktik seni rupa kontemporer di Indonesia. 

Sudut pandang yang saya gunakan terutama persoalan yang berkait di sekitar bagaimana masing-masing medium mempengaruhi visi estetik seorang seniman, dan bagaimana pengaruh tersebut membangun satu kosa visual yang baru, atau berbeda. Hal ini, tentu saja, bukan merupakan hal yang sama sekali baru kalau tak dapat disebut sebagai salah satu topik bahasan yang telah dimulai sejak munculnya seni kontemporer. 

Sebut saja esai-esai yang membahas karya seniman Eropa kenamaan Gerard Richter atau David Hockney. Keduanya memang dikenal sebagai seniman yang mendasarkan gagasan melukisnya pada imaji yang diciptakan melalui teknologi kamera. Salah satu tulisan yang membahas Richter, misalnya, memberi paparan sebagai berikut:

These photographs are weapons in a personal war against forgetting. They are the inspiration behind many of his most memorable paintings, the subject of which is often perception itself, the act of both looking and looking away. Through the distortion of photographic representation, Richter attempts to show how the eye can both illuminate and deceive. The past, he seems to be saying, is endlessly unstable. The image, photographic or otherwise, is always artificial. There is no truth, only interpretations, which applies as much to our own personal narratives as it does to the hauntedness of the German past.’ (‘Measuring the Richter scale’ by Jason Cowley, 6 May 2002, News Statesman, on the occasion of ‘Gerhard Richter: 40 Years of Painting at Museum of Modern Art, New York, 2002).

Foto-foto [dalam pameran ini] adalah senjata dalam perang personal melawan lupa. Mereka adalah inspirasi di balik banyak karya-karya lukisnya yang paling dikenang, subjek yang pada saat yang sama berposisi sebagai persepsi, aksi melihat dan mengacuhkan. Melalui distorsi dari representasi fotografis, Richter berupaya untuk menunjukkan bagaimana mata kita bisa mengiluminasi dan memperdaya. Masa lalu adalah sesuatu yang tak pernah stabil, tampaknya demikianlah yang agaknya sedang ia coba untuk nyatakan. Imaji, baik fotografis maupun dalam bentuk lain, selalu bersifat artifisial. Tidak ada kebenaran. Yang ada hanyalah interpretasi, yang diterapkan melalui narasi personal kita sendiri, sebagaimana ia sejak lama menghantui masa lalu Jerman. (‘Measuring the Richter scale’ by Jason Cowley, 6 May 2002, News Statesman, on the occasion of ‘Gerhard Richter: 40 Years of Painting at Museum of Modern Art, New York, 2002)

Dalam Sudut pandang paling umum yang acap muncul dalam pembahasan mengenai karya-karya lukisan yang mendasarkan diri pada imaji fotografis tersebut adalah bagaimana imaji fotografi diolah dalam konsep lukisan, yang kemudian mempertemukan elemen dari masing-masing medium—warna, komposisi, cahaya—untuk direkontekstualisasi dan direkreasi dalam cara lihat yang baru. Salah satu seniman Indonesia yang juga bekerja melintasi batas medium antara lukisan dan fotografi dengan perspektif yang unik adalah RE Hartanto, terutama dalam seri karya-karya “Korean: Post Nuclear” (2008). Secara menarik, Hartanto mengembangkan proses pengambilan imaji fotografinya serupa dengan pijakan gagasan atas self-performance dari orang-orang yang terlibat sebagai modelnya. 

Lukisan tentu saja telah memiliki sejarah yang lebih panjang dalam dunia seni rupa ketimbang fotografi. Tetapi, beberapa waktu belakangan, himpitan antara keduanya merupakan sesuatu yang tak terelakkan. Penemuan kamera sebagai sebuah mesin perekam imaji visual membuat kemungkinan-kemungkinan yang tercipta atas lukisan menjadi semakin kaya. Hampir empat abad yang lalu, para pelukis memindahkan kenyataan ke atas kanvas dengan mengandalkan ketepatan dalam melihat subjek dan mendistorsi atau mempersonalisasi kenyataan itu dengan pandangan personalnya atas dunia. Ketika teknologi fotografi ditemukan, secara tidak langsung, seniman menjadi berjarak dengan kenyataan karena adanya lensa kamera yang memindahkan ingatan dari benak ke atas sesuatu yang tercetak. Sebaliknya, dalam dua dekade belakangan ini, karena himpitan-himpitan yang makin terasa di antara kedua medium dan semakin mapannya posisi fotografi sebagai bagian dari seni rupa kontemporer, maka dapat dilihat pula bagaimana seniman fotografi banyak menimba pijakan visual dari karya-karya lukisan. Terutama sejak berkembangnya genre fotografi seni sebagai satu kategori yang cukup mapan, maka keinginan para fotografer untuk bermain-main dengan logika visual dan representasi kenyataan menunjukkan pengaruh besar dari medium-medium lain di luar dirinya. 

Masing-masing seniman dalam pameran ini menunjukkan bagaimana keduanya memberikan pandangan yang menarik berkaitan dengan relasi saling pengaruh antara lukisan dan fotografi. Di antara empat seniman, dua orang merupakan seniman dengan fotografi sebagai medium utamanya yaitu Angki Purbandono dan Lovis Ostenrik, sementara dua yang lain merupakan seniman dengan medium lukis, yakni Andy Dewantoro dan Tommy Aditama Putra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun