Ada yang mencemooh dan ada pula yang memberi pujian atas hadirnya film tersebut. Pentingnya, disini tiap insan penggemar film maupun tidak. Memiliki, kewajiban yang sama menempatkan sesuatu yang baik dan menanggalkan keburukan pada tempatnya. Terlepas, apakah ini berhubungan dunia nyata maupun tidak. Penulis naskah tetaplah berposisi sebagai penulis naskah film yang berjibaku dengan sutradara dan produser. Agar, mampu menghasilkan karya terbaik dan bermanfaat. Bukan seorang wartawan maupun jurnalis berperan sebagai pengungkap sebuah fakta dengan kata-kata.
Berawal, dari ini kemudian penulis mencoba mencerna film bidaah menelusurinya dengan menonton dari sesion 1 - 15 hingga episodenya selesai. Sembari, melihat-lihat  trending topik nitizen yang berkembang di berbagai media sosial.
Point pertama, terkait lokasi syuting. Betul, jika kita teliti dari awal sampai akhir film ini memposisikan kisah yang di angkat dalam kehidupan pendidikan sebuah pondok pesantren yang di peran oleh seorang mursyid maupun pengikut lain seperti seorang santri dan lain sebagainya.
Kemudian di dalamnya terdapat simbol yang identik dengan pemuka agama islam maupun seorang sultan bangsa melayu seperti sorban, pakaian jubah, tanjak, pakaian adat-istiadat dan lain-lain.
Sehingga, alasan inilah kemudian melahirkan sebuah bias antara beberapa tokoh agamawan di pelbagai negara maupun daerah mengemukakan pendapat. Ada, yang berkonotasi negatif maupun sebaliknya bersifat positif dampak dari pada perbedaan mazhab maupun ideologi dalam memberikan sebuah pandangan. Meski, demikian yang menjadi catatan penting di sini melayu itu muslim, muslim itu melayu dan malaysia negeri rumpun melayu yang sudah cukup jelas berbasiskan nilai-nilai keislaman.
Point kedua, persoalan nikah bhatin yang sering di kemukakan oleh seorang pemeran. Sebut saja walid sebagai seorang mursyid yang terus - menerus mempersunting santrinya dengan alasan tertentu.
Tentu, ada pelajaran berharga bisa di petik yang namanya nikah bhatin tidak tercatat secara sah dalam konstitusi negara. Sangat di larang keras terlebih lagi di belahan negara yang mayoritas muslim. Kemudian terlebih lagi menjatuhkan janin kandungan sebagaimana di tampilkan dalam sesi alur cerita film tersebut.
Point ketiga, persoalan menikah hanya cukup dengan mahar Al-Fatihah. Point ini tentu orang yang berakal rasional tentu bisa menilai namanya sebuah mahar dalam pernikahan haruslah berupa barang. Meskipun, hanya cincin sebentuk atau sejenisnya perlengkapan shalat dan sebagainya.
Point keempat, mengaku-ngaku sebagai imam mahdi sebagai pemimpin juru penyelamat umat islam di akhir zaman. Sungguh, ini kesesatan yang luar biasa. Bagaimana seorang mursyid dalam sebuah pesantren bisa berwatak kesyirikan.
Point kelima, pembai'atan pengikut dengan menjajaki sumpah kesetiaan yang di selingi dengan minum air telapak kaki. Bagi, orang-orang yang berfikir rasional tentu akan bertanya. Apakah harus berlebihan seperti itu memuliakan seorang ulama. Karena sejatinya memupuk keyakinan dalam beragama tidak bisa di bangun dengan kesadaran agama dengan dogma. hingga pada titik memaksakan kesadaran masing-masing individu.
Point keenam, skenario alur ceritanya kesannya memang seperti pementasan dunia teater. Dimana terdapat cara-cara komunikasi antar pemeran, kesannya seperti dalam sebuah panggung tapi dalam film yang bukan sinetron. Apalagi, film movie dengan suasana pondok pesantren sebagai background di belakang layar.