Mohon tunggu...
Soleh Djayim
Soleh Djayim Mohon Tunggu... karyawan swasta -

hanya seorang staf rendahan (kuli) di sebuah BUMN

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Prasasti Terlentang

13 Juni 2017   21:09 Diperbarui: 13 Juni 2017   21:31 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setengah jam berjalan, Jaka Watuan sampai pada puncak bukit. Pada sebuah batu pipih yang terpasang mendatar di tepi jalan paling ujung, Ia duduk mengatur nafas dan sedikit memejamkan mata. Ia nikmati dengan sepenuh jiwa luluran angin yang menyeka keringatnya perlahan. Dari jalan lain, di depannya, Sri Wangi datang. Berurai rambut panjangnya, sedikit berkeringat di pipi dan jidatnya. Senyumnya masih senyum yang sama, sedikit dan sederhana dengan aura yang menggetarkan hati Jaka Watuan. Malam yang temaram menjadi terang bagi Jaka Watuan. Hawa yang dingin menjadi hangat menggairahkan. Bunga-bunga segera bermekaran disekitarnya dan rerumputan beringsut berdiri menyambut, menggetarkan diri melepas embun di daun-daunnya.

Dengan lirih Jaka Watuan mendendang lagu merdu, sepenuh jiwa dan setulus ikhlas hati. Nada romantis alami. Sri Wangi menyambutnya, nada-lirihnya menyampaikan keutuhan sebentuk cinta dan kasih.

Tanpa kata-kata, tanpa tegur sapa. Keduanya berbicara pada ruang dunia berbeda. Terdiamlah dedaunan. Terlenalah hewan malam. Angin berhenti sejenak untuk menikmati wewangian yang tak menyengat tak juga tipis. Di langit, segerombolan awan putih menyelinap di bawah bulan yang sinarnya terpendar redup. Burung-burung hantu terkesima ketika Sri Wangi menjentikkan jari manisnya memulai menari. Pinggangnya melentur mengimbangi bokongnya yang menjenthir dibarengi hentakan dagunya sambil tersenyum dan mata berbinar. Melayanglah Jaka Watuan, mulutnya menarik nafas begitu banyak dan menghembuskan dengan perlahan. Bibirnya menyiulkan suara melengking, turun ke nada rendah sampai tak terdengar. Gemericik angin menampar muka dedaunan, burung-burung malam bernyanyi, hewan melata mendesis, jangkrik dan orong-orong berbunyi teratur bersahutan, berritme seperti orkestra di savana nan luas. Terbawa angin, terbang melayang di awan-awan, di langit, menuju bulan yang selalu tersenyum untuk Jaka Watuan dan Sri Wangi. Rancak kaki keduanya berdecak-decak, menghentak tanah.

Jaka Watuan dan Sri Wangi menari, erotis. Seperti tarian kamasutra. Berjam-jam tak kenal lelah, berlumuran keringat. Di bawah, di kaki bukit, di rumah-rumah yang mengelilingi bukit Ungu, nada dan semangat Jaka Watun -- Sri Wangi menular begitu cepat. Siapa pun yang mendengar nada orkestra alam dari bukit Wungu, bangun dari tidurnya dan bergairahlah mereka menyelami malam. Sampai pagi, sampai warna kemerahan di punggung bukit Timur datang tersenyum.

Bertahun-tahun, ketika malam berangin tenang tanpa gerimis atau hujan dan anak-anak Jaka Watuan tidur tenang menunggu ibunya turun dari surga, suara orkestra alam datang turun naik seperti gelombang ombak, mendayu-ndayu merambat di atap-atap rumah bercerita tentang Adam-Hawa saat bertemu pertama kali di dunia usai terpisah.

Tak satu pun orang yang berani beranjak ke puncak bukit Wungu untuk melihatnya, karena tak ada orang ke sana yang pulang dengan selamat. Dari ceritera, beberapa orang yang mencoba naik saat orkestra alam terdengar di malam hari, tak diketahui apa yang terjadi padanya, bahkan jasadnya pun tak pernah ada yang tertemukan. Maka bukit Wungu pun menjadi tak terjamah. Hanya Jaka Watuan yang ke sana, itu pun tak pernah ada orang yang melihatnya. Hanya katanya, hanya mungkin.

Ketika anak-anak Jaka Watuan telah beranak pinak, dan bertahun-tahun ayahnya tak diketahui rimbanya, mereka naik ke atas bukit Wungu. Tak ada siapa-siapa di sana. Lengang, sepi. Hanya angin yang bergerak lembut datang tiba-tiba, menyambut. Tapi, di sekitar batu pipih yang terpasang mendatar di bawah pohon Wungu, tak ada sampah daun kering yang berserak. Sekira luas tiga kali empat meter persegi itu, seperti habis disapu, rapi, tak ada rumput yang tumbuh liar.

Di batu pipih itu tergambar lekukan tubuh sedang terlentang. Ada lekukan gambar empat tangan, sepasang tumit kaki dan lekukan gambar sepasang jari-jari kaki. Kedua anak Jaka Watuan duduk di sebelahnya. Terdiam, mengamati gambar lekukan tubuh di batu pipih di depannya. Batu berwarna hitam kebiru-biruan yang tak sedikit pun terdapat lapuk.

Mereka berdo'a. Angin berkesiur pelan, sesaat lengang. Kemudian orkestra alam yang lama tak terdengar, membubung lagi ke udara. Menyeruak ke langit dan tertelan awan. Pada batu sebesar kepala di tepi batu pipih, anak-anak Jaka Watuan memahat nama, Jaka Watuan -- Sri Wangi. Hanya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun