Mohon tunggu...
Sofia Musyarrafah
Sofia Musyarrafah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seorang kompasianer cilik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bayangan Alberto

8 Desember 2014   22:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:46 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku berlawanan cahaya. Akulah sisi gelap Alberto. Melekat di dirinya walaupun sering kali samar. Aku bergerak layaknya Alberto. Aku mengetahui segala tentang Alberto. Entah melalui apa aku mendengar, melihat, dan merasa, aku tahu semua tentangnya.

“Aduuuuh,” keluh Alberto. Aku memegang perut mengikutinya. Sejak dua jam yang lalu Alberto merasakan sakit yang teramat sangat di perutnya. Ia mengamuk, mengeluh kesakitan. Tinggal sendiri di suatu gubuk yang hanya berisi satu tempat tidur dan bilik kamar kecil membuat Alberto semakin tak memahami dirinya. Pagi, siang, dan malam ibu Alberto memberinya makan. Ketika Alberto terlihat tenang, sesekali ibunya mengelus dan mencium kening Alberto. Namun, ketikaair muka Alberto berubah, ibunya segera mengunci pintu gubuk itu dari luar.

***

Sudah dua tahun Alberto hidup di sana. Hal itu bermula sejak ibunya tidak sanggup lagi menahan ketakutan pada Alberto yang menurutnya sangat aneh. “Aku takut dengan kegilaan anakku,” ungkap ibunya setiap ditanya alasan mengurung Alberto.

Alberto merupakan seorang anak yang ketika itu berusia 12 tahun dan bersifat sangat pendiam, rajin, dan patuh. Suatu ketika Alberto berubah menjadi anak yang sangat feminin. Ia memakai pakaian ibunya dan berbicara selayaknya wanita dewasa.

“Bu, aku mulai mencintai Diego tetangga kita. Aku sungguh terpesona padanya.”

“Hei, apa-apaan kau ini? Sudah, jangan bertingkah aneh, pergi ke kamarmu. Ibu akan menyiapkan makan malam,” tutur ibu Alberto.

Ketika mengetahui hal itu, tak hanya ibu Alberto yang heran, aku pun begitu. Secara terpaksa aku bergerak gemulai dengan sangat feminin. Aku merasa gerakanku tidak sesuai dengan jiwaku. Namun sepertinya Alberto tak menyadari hal itu. Aku berteriak pada Alberto. “Hei bodoh, kau Alberto! Kau anak kecil yang masih sekolah dasar!” Namun percuma, teriakanku tak terucap sedikitpun. Bagaikan bisikan hati, hanya aku sendiri yang mendengar.

“Hai, aku Eliza. Kau Diego, bukan?” Alberto memberanikan diri mengulurkan tangan pada Diego yang sedang membaca Koran di depan rumahnya.

“Apa-apaan kau Alberto? Cepatlah pulang, ini sudah malam,” tolak Diego seraya masuk ke dalam rumah. Dengan penuh sakit hati, Alberto pun pulang ke rumahnya.

“Ibu, aku tidak ingin makan malam, aku ingin tidur,” sentak Alberto pada ibunya sambil menangis dan menutup pintu kamar dengan keras. Ibu Alberto pun mulai merasakan keanehan dan mengelus dadanya.

Jika ingin tidur, Alberto tak suka dengan lampu menyala. Ia mematikan lampu kamrnya. Tak ada cahaya, aku pun memudar. Keesokan harinya, aku sangat senang karena Alberto sadar kembali. “You’re back!” teriakku. Alberto bergegas mandi dan sarapan. Ia mencium pipi ibunya dan berangkat ke sekolah.

Hmm, hal itu terjadi lagi. Namun sangat berbeda dari yang pertama. Kali ini aku dipaksa Alberto melakukan hal yang tidak biasa lagi. Alberto menantang genk yang terkenal kejam di sekolah untuk berkelahi.

“Kalian sudah sering menghajar anak-anak di sekolah ini. Temui aku di belakang sekolah setelah ini, dan akan ku beri tahu arti rasa sakit!” tantang Alberto.

“Hahaha, apa yang kau katakan wahai Cupu? Kau mengigau?” kata Ron sang ketua genk. “Jangan panggil aku John jika aku tak bisa mengalahkanmu!” teriak Alberto.

”John? Hahaha. Hei, jangan mengigau, Alberjohn!” ejek Ron disambut gelak tawa teman-temannya.

Aku semakin heran. Namun aku tak bisa menghentikan Alberto. Aku hanya bisa mengikuti gerakannya. Aku memang bisa mengetahui perilaku Alberto yang tidak bisa diketahui oleh orang lain. Namun, aku tidak bisa mengetahui isi hatinya, mengapa ia melakukan hal ini. Aku tak bisa berontak.

“Teeet…” Bel sekolah berbunyi. Segera aku dan Alberto ke belakang sekolah. Tak lama datanglah Ron dan genk-nya dengan muka yang sangat beringas. Pikiranku berkecamuk. Namun, gerakku nampak gagah. Alberto mulai menghampiri mereka.

“Apa yang kau inginkan, wahai Cupu Alberjohn?” ejek Ron. “Kau ingin luka atau kematian?” ucap salah seorang anggota genk.

“Ya, aku ingin kematian. Namun bukan kematianku, tapi kematianmu,” ungkap Alberto misterius.

“Hiaaaaa...!!!” Alberto menyerang mereka satu per satu dan terjadilah perkelahian. Aku memukul sisi gelap para anggota genk tersebut. Aku merasa dikuatkan, entah oleh apa. Aku mulai bangga dengan keberanian Alberto.

Pukulan terakhir Alberto di atas perut dan di belakang leher Ron membuat Ron tersungkur. Teman-teman Ron yang terluka parah segera melarikan diri. “Sudah ku bilang aku menginginkan kematianmu,” bisik Alberto pada Ron sesaat sebelum Ron kehilangan nyawanya.

Alberto pulang ke rumah mengenakan seragam yang kotor dan ada bercak darah. Ibunya ketika itu kebetulan tidak ada di rumah. Setelah membersihkan diri, seolah tak terjadi apa-apa, Alberto seperti biasa membaca buku di ruang tamu sambil makan snack kesukaannya. Tak ada ciri-ciri kegelisahan di raut mukanya. Aku lagi-lagi heran padanya.

Alberto benar-benar mempermainkanku. Sore hari, ia berdandan dengan kosmetik ibunya dan menggoreskan tulisan “I love you, Diego” dengan lipstik di cermin rias ibunya. Setelah puas, kali ini Alberto ke kantor polisi dan melaporkan bahwa ia melihat beberapa siswa yang sedang berkelahi dan juga tejadi pembunuhan. Dengan menangis seolah-olah trauma, ia menceritakan kronologi kejadian tersebut dan menyebutkan anak tersebut bernama Albertjohn.

“Aku juga bingung dengan nama itu, tapi itulah yang disebutkan salah satu siswa sebelum mereka berkelahi,” paparnya tersedu-sedu.

Aku tahu, polisi tak akan langsung percaya dengan penyampaian Alberto. Bagaimana tidak, seorang anak laki-laki datang malam-malam ke kantor polisi untuk menceritakan kasus pembunuhan dengan wajah penuh riasan dan pakaian menyerupai perempuan. Wajah sang polisi tampak heran melihat Alberto.

“Siapa namamu dan berapa usiamu?”, tanya sang polisi.

“Aku Eliza, 21 tahun. Aku sangat takut melihat kejadian itu, Pak. Sangat takut!” jawabnya. Polisi tersebut menenangkannya kemudian mengantarkannya pulang.

***

Ibu Alberto yang baru datang ternyata telah ditunggu di depan rumah oleh bu Reika, guru Alberto di sekolah. Ketika ibu Alberto mempersilakan bu Reika masuk, tiba-tiba Alberto datang. Ibunya terkejut melihat anaknya bersama polisi.

Alberto langsung berlari masuk ke kamarnya. Sang polisi yang berada di depan rumah disambut oleh ibu Alberto. Alangkah terkejutnya sang ibu mendengar cerita polisi tersebut tentang pengaduan anaknya. Yang paling mengherankan adalah hal tersebut serupa dengan cerita yang kemudian disampaikan oleh bu Reika. Ia menyampaikan bahwa teman-teman Ron mengadukan pembunuhan yang dilakukan Alberto pada Ron. Jasad Ron pun ditemukan di belakang sekolah. Teman-teman Ron menyebutkan bahwa ketika itu Alberto mengaku dirinya sebagai John.

Ibu Alberto semakin tertekan. Di satu sisi, ia sadar bahwa anaknya mulai mengalami keanehan. Di sisi lain, ia tidak percaya bahwa anaknya sampai melakukan hal itu. Akhirnya, ia memanggil Alberto untuk ke ruang tamu.

“Aku segera ke sana, Bu,” sahut Alberto dengan nada sopan. Alberto dan aku keluar kamar dengan gerakan yang biasa, yang tenang layaknya Alberto biasanya.

“Ada apa, Bu?” tanya Alberto seraya duduk di samping ibunya. “Selamat malam, Bu Reika. Ada apa Ibu ke rumah saya?” sapa Alberto lembut. Ibu Alberto, bu guru Reika, dan polisi saling berpandangan heran.

“Hei nak, kau sudah rapi. Siapa namamu?” tanya sang polisi.

“Perkenalkan aku Alberto. Ada keperluan apa Bapak kemari?” sahut Alberto sambil mengulurkan tangannya ke arah polisi. Sang polisi pun menyambut jabat tangannya agar tidak terlihat bingung.

“Alberto, apa yang kau lakukan dari tadi pagi hingga malam?”, tanya ibu Alberto serius.

“Aku? Sekolah tentu saja. Belajar seperti biasanya. Pulang dan membaca buku. Tak ada yang istimewa,Bu. Kau tentu tahu itu,” ucapnya santai.

“Ibu bertanya serius, Alberto! Jawab juga dengan serius!” bentak ibunya.

Alberto terkejut melihat muka ibunya yang nampak sangat marah. Aku pun terkejut. Namun aku lebih heran mengapa Alberto seolah-olah memang tidak menyadari perbuatannya hari ini. Aku serasa ingin mengungkapkan segalanya, namun aku hanyalah bayangan gelap yang juga tak mengerti sebab dari perilaku Alberto. Walaupun aku tidak ikut campur dengan keputusan perilaku Alberto, namun aku juga merasa bersalah karena telah membunuh Ron. Selain itu, aku sangat jijik pada perilaku Alberto ketika mengaku dirinya sebagai Eliza.

Alberto hanya diam saja dibentak ibunya. Namun tiba-tiba tatapannya berubah. Ia nampak gelisah melihat polisi.

“Ada apa Bapak kemari? Aku tidak salah. Aku membunuhnya demi kebaikan teman-temanku di sekolah yang telah banyak ia sakiti,” ungkap Alberto yang sontak berdiri dan mengepal tangannya.

“Aku sangat membenci Ron! Ia pantas mati di tanganku! Aku telah menyelamatkan kebahagiaan teman-temanku!” jelasnya dengan gemetaran.

“Hei Alberto, kendalikan dirimu!” ucap ibunya sambil memegang tangannya.

“Aku John. Sudah berkali-kali aku bilang, aku John!” teriaknya.

Semua orang yang ada di tempat itu sangat terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa. Alberto yang mencoba melarikan diri langsung ditembak oleh sang polisi di bagian kakinya. Ketika Alberto tersungkur, ia langsung diborgol dan sang polisi menelepon anak buahnya agar segera membantu.

“Ibu Alberto dan Bu Guru harus ikut saya juga ke kantor polisi,” tegas sang polisi. Ibu Alberto langsung ke kamarnya untuk menaruh barang bawaannya dan tiba-tiba…

“Aaaaaaa…!!!” Ia berteriak histeris ketika melihat jasad Diego yang tergeletak dekat meja riasnya dan tulisan “I love you, Diego” di cermin.

Bu guru Reika langsung mendatangi ibu Alberto dan ia pun langsung terkejut.

“Pak polisi!!! Segera panggil anak buahmu, di sini ada mayat!” teriak bu guru Reika.

“Ayo bu, kita ke kantor polisi. Biarkan ini diurus oleh kepolisian,” ucap bu guru Reika mencoba menyabarkan.

Ibu Alberto pun menurutinya sambil menangis. Akhirnya, beberapa polisi datang dan langsung mengamankan TKP dan juga jasad Diego.

***

Sesampainya di kantor polisi, Alberto dirawat kakinya dan kemudian diproses hukum. Aku tahu Alberto juga tidak memahami dirinya. Ia tidak bersalah. Dan ternyata keyakinanku itu benar.

“Alberto tidak bersalah. Hasil asesmen dan diagnosa yang saya lakukan, Alberto dapat dikatakan mengalami gangguan kejiwaan berupa Gangguan Identitas Disosiatif,” ujar seorang psikolog yang menjadi saksi ahli pada persidangan Alberto. “Gangguan inilah yang membuat Alberto memiliki kepribadian yang berganti-ganti,” tambahnya.

Aku tahu, hal yang paling menyakitkan adalah kepribadian Alberto yang asli tidak ingat dan tidak kenal sama sekali dengan kepribadian Eliza dan John. Sehingga ia harus menanggung kebingungan atas seluruh proses penyembuhan yang dijalaninya.

Berkat kesaksian psikolog tersebut, Alberto dinyatakan tidak bersalah dengan alasan mengalami gangguan kejiwaan. Alberto dirawat selama satu tahun di institusi mental dan diisolasi dari lingkungan karena ia cenderung membahayakan. Semakin lama, ibunya semakin kesulitan membiayai perawatan Alberto. Kemudian, ibunya memutuskan untuk merawat anaknya sendiri di rumah.

Psikolog dan psikiater yang merawat Alberto telah melarang hal tersebut. Namun, keputusan tetap di tangan ibunya. Alberto dirawat di rumah dengan obat yang lebih murah dan kadang-kadang melakukan terapi. Tak kunjung sembuh, nampak kepribadian Alberto bertambah. Ia terkadang menangis seperti anak usia empat tahun dan terkadang suaranya menyerupai laki-laki lanjut usia.

Karena ketakutan, akhirnya Alberto dibuatkan gubuk tepat di samping rumahnya. Hanya tempat tidur dan bilik kamar kecil yang ada di dalam gubuk tersebut. Bagaimanapun juga aku tetap bersama Alberto. Aku tak pernah berpisah dengannya selama ada cahaya yang menyinarinya. Aku mengetahui dan menyadari segala perubahan Alberto dan tentu tak ada pilihan lain selain mengikutinya. Namun menurutku, bukan aku yang paling sakit dalam hal ini, melainkan Alberto. Ia bahkan tidak tahu kapan ia berperilaku sesuai kepribadian aslinya dan kapan ia berubah. Aku hanya bisa menemaninya dalam samar, tanpa bisa berucap, maupun menghiburnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun