Di tengah arus deras transformasi digital, Indonesia memasuki era baru dalam mengelola penerimaan negaranya. Teknologi yang terus berkembang membuka peluang besar untuk meningkatkan pendapatan negara, baik dari sektor perpajakan maupun non-pajak. Namun di balik potensi tersebut, mengintai tantangan besar yang menguji kesiapan sistem, mentalitas, dan pemerataan akses di seluruh pelosok negeri.
Digitalisasi menghadirkan banyak kemudahan. Melalui sistem seperti e-filing, e-billing, hingga peluncuran Core Tax Administration System (CTAS) oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), proses pelaporan dan pembayaran pajak kini dapat dilakukan secara daring dan real-time. Tak lagi perlu antre di kantor pajak, wajib pajak cukup menggunakan perangkat gawai dan koneksi internet. Semua ini bertujuan memperkuat tata kelola penerimaan negara secara efisien, transparan, dan terukur. Tetapi pertanyaan mendasarnya tetap adalah Apakah teknologi saja cukup untuk menjawab krisis keadilan fiskal yang telah lama membayangi ?
Sektor perpajakan masih menjadi tumpuan utama bagi penerimaan negara. Menurut Kementerian Keuangan RI (2023), lebih dari 80% penerimaan negara dalam APBN 2024 ditargetkan berasal dari sektor perpajakan. Angka ini mencerminkan betapa krusialnya keberhasilan reformasi sistem pajak digital demi menjaga ketahanan fiskal Indonesia. Namun, digitalisasi bukan hanya soal perangkat lunak. Penerimaan negara selama ini masih dibayang-bayangi persoalan klasik seperti kebocoran anggaran, ketidakpatuhan pajak, hingga rendahnya transparansi. Teknologi memang bisa menutup celah manipulasi, tetapi hanya jika disertai perubahan perilaku. "Sistem secanggih apa pun akan lumpuh jika mentalitas tidak berubah," ujar Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI, dalam sebuah forum fiskal nasional tahun lalu.
Kenyataannya, masih banyak pelaku ekonomi digital yang belum tersentuh sistem perpajakan formal. Ambil contoh, konten kreator dan pelaku UMKM daring. Sebuah survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 60% pelaku usaha online belum memiliki NPWP, dan sebagian besar mengaku belum memahami kewajiban perpajakannya.
Ini menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi digital belum berbanding lurus dengan pertumbuhan penerimaan pajak. Transaksi di e-commerce, layanan digital, bahkan perdagangan aset kripto seringkali belum sepenuhnya terdata secara sistematis. Padahal, proyeksi dari Google-Temasek-Bain (2023) memperkirakan bahwa nilai ekonomi digital Indonesia akan mencapai USD 146 miliar pada 2025. Langkah-langkah strategis seperti integrasi data lintas instansi, penggunaan big data, dan pelibatan pihak ketiga menjadi sangat penting. Kini, otoritas pajak bahkan bisa mengakses informasi dari perbankan, e-commerce, marketplace, hingga lembaga keuangan digital, sebagai upaya membangun sistem perpajakan yang menyatu dan berbasis data.
Namun, digitalisasi juga membawa tantangan baru dengan kesenjangan akses dan literasi digital. Tidak semua masyarakat memiliki koneksi internet yang memadai, perangkat digital, atau pemahaman dasar tentang fungsi pajak. Masih banyak daerah di luar Jawa seperti pedalaman Kalimantan atau pegunungan Papua yang belum tersentuh program edukasi pajak maupun infrastruktur teknologi.
Jika tidak segera diatasi, ketimpangan ini justru bisa menciptakan jurang baru. Mereka yang digital akan mudah patuh, sementara yang tertinggal makin jauh dari sistem. Pajak bukan sekadar pungutan. Ia adalah bentuk partisipasi warga dalam membangun negara. Namun, kesadaran ini tidak tumbuh dengan sendirinya. Pemerintah perlu mempercepat pemerataan infrastruktur dan literasi digital fiskal, terutama bagi generasi muda. Milenial dan Gen Z adalah calon wajib pajak terbesar di masa depan, tetapi riset DJP menunjukkan tingkat literasi pajak generasi ini masih rendah.
Untuk itu, edukasi perpajakan tidak lagi cukup efektif hanya melalui seminar atau brosur. Pemerintah harus aktif masuk ke ruang-ruang digital masyarakat media sosial, platform e-commerce, kanal video pendek dengan kampanye yang relevan, kreatif, dan kolaboratif seperti kolaborasi dengan influencer, konten kreator, dan komunitas digital menjadi jalan baru untuk menanamkan kesadaran pajak sejak dini. Jangan sampai edukasi pajak hanya dinikmati oleh pelajar di kota besar, sementara anak muda di daerah justru tidak mengenal apa itu NPWP.
Selain itu, investasi dalam keamanan siber, pelatihan SDM pajak, dan pembentukan badan pengawasan independen menjadi elemen penting. Di era digital, data adalah aset negara. Maka, komitmen politik dan kesadaran publik untuk menjaga kerahasiaan serta kepercayaan harus menjadi prioritas.
Digitalisasi perpajakan adalah peluang besar untuk membangun sistem penerimaan negara yang lebih efisien, adil, dan transparan. Namun, ia bukan jalan pintas. Tanpa perubahan mentalitas, pemerataan literasi, dan keberpihakan terhadap mereka yang tertinggal, sistem ini hanya akan menjadi etalase kemajuan yang timpang. Sistem perpajakan digital yang ideal adalah sistem yang menjamin keadilan fiskal.Â
Masa depan penerimaan negara Indonesia di era digital bukan semata soal teknologi yang canggih, melainkan soal keadilan. Siapa yang terjangkau, siapa yang tertinggal, dan siapa yang dipersiapkan untuk ikut serta. Semua itu bergantung pada keseriusan negara, bukan hanya membangun sistem digital tapi juga memastikan pelaksanaanya nyata di lapangan.