Pancasila Bukan Sekadar Hafalan: Belajar dari Kasus Intoleransi di Sekolah
Beberapa tahun lalu, publik Indonesia dihebohkan oleh kasus seorang siswi non-muslim di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat, yang diminta mengenakan jilbab oleh pihak sekolah. Video sang ayah yang menolak aturan itu menjadi viral dan memicu perdebatan panjang tentang toleransi dan kebebasan beragama di lingkungan pendidikan. Kasus ini bukan sekadar persoalan aturan berpakaian, tetapi juga mencerminkan tantangan dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan nyata.
Sebagai dasar negara dan ideologi bangsa, Pancasila bukan hanya kumpulan sila yang dihafal setiap upacara bendera. Pancasila seharusnya menjadi pedoman sikap dan perilaku dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, kasus di Padang memperlihatkan bahwa masih ada jarak antara pemahaman teoritis dan penerapan praktis nilai-nilai Pancasila, terutama sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" dan "Persatuan Indonesia."
Nilai Pancasila yang Diuji di Dunia Nyata
Sila pertama mengajarkan bahwa setiap warga negara berhak beriman dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Dalam konteks kasus di SMKN 2 Padang, seharusnya sekolah menjadi tempat yang menghormati keragaman keyakinan peserta didik. Sementara itu, sila ketiga, Persatuan Indonesia, menegaskan pentingnya menjaga harmoni di tengah perbedaan suku, agama, dan budaya. Saat aturan sekolah justru menimbulkan diskriminasi, maka di situlah nilai persatuan diuji. enurut Kaelan (2017) dalam bukunya Pendidikan Pancasila, Pancasila bukan hanya ideologi yang mengatur hubungan negara dengan rakyat, tetapi juga ideologi terbuka yang harus diterapkan dalam kehidupan sosial secara dinamis. Artinya, setiap kebijakan publik, termasuk di bidang pendidikan, perlu mencerminkan semangat kebhinekaan dan keadilan sosial yang menjadi roh Pancasila.
Tantangan Mengamalkan Pancasila di Era DigitalÂ
Di era digital dan globalisasi seperti saat ini, tantangan dalam menanamkan nilai Pancasila semakin besar. Media sosial sering kali menjadi ruang yang memicu polarisasi, ujaran kebencian, bahkan intoleransi. Data dari Setara Institute (2023) menunjukkan bahwa kasus intoleransi di lingkungan pendidikan masih terjadi di beberapa daerah, menandakan bahwa nilai-nilai kebangsaan belum sepenuhnya terinternalisasi di kalangan pelajar maupun pendidik. Padahal, sekolah seharusnya menjadi tempat terbaik untuk menumbuhkan karakter toleran, adil, dan beradab. Pendidikan Pancasila tidak boleh berhenti di ruang kelas dalam bentuk hafalan sila-sila, tetapi perlu diwujudkan lewat pembiasaan sikap dan keteladanan guru. Guru memiliki peran penting sebagai teladan dalam mengimplementasikan nilai kemanusiaan dan penghargaan terhadap perbedaan.
Menghidupkan Kembali Semangat Pancasila
Belajar dari kasus intoleransi di Padang, kita perlu kembali meneguhkan makna Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa. Pemerintah telah menegaskan bahwa tidak boleh ada aturan sekolah yang bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama. Ini menjadi langkah penting dalam memastikan bahwa nilai-nilai Pancasila benar-benar menjadi dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan publik.
Namun, tanggung jawab menjaga Pancasila bukan hanya di tangan pemerintah atau sekolah. Kita sebagai warga negara juga memiliki peran dalam menghidupkan semangatnya mulai dari menghargai pendapat orang lain, tidak menyebarkan kebencian di media sosial, hingga berani melawan sikap diskriminatif di sekitar kita. Seperti  yang dikatakan oleh Yudi Latif (2018) dalam Negara Paripurna, Pancasila adalah "cita moral kolektif bangsa" yang hanya bermakna jika diwujudkan dalam tindakan nyata. Nilainya hidup ketika kita jujur, adil, dan saling menghormati.
Pancasila bukan hanya simbol di dinding kelas atau teks yang dibacakan setiap Senin pagi saat upacara bendera. Pancasila adalah jiwa bangsa Indonesia, yang seharusnya terasa dalam perilaku kita sehari-hari. Kasus intoleransi di sekolah menjadi pengingat bahwa perjuangan menanamkan nilai Pancasila belum selesai. Kita tidak harus menjadi pejabat atau tokoh besar untuk mengamalkan Pancasila. Cukup mulai dari hal sederhana dengan menghargai perbedaan, menolong sesama, dan menjunjung kemanusiaan. Sebab, di sanalah esensi sejati Pancasila hidup bukan dalam hafalan, melainkan dalam tindakan.
Referensi:
Kaelan. (2017). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Setara Institute. (2023). Laporan Tahunan Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia.
Latif, Yudi. (2018). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kompas.com. (2021). Kasus Siswi Non-Muslim Diminta Pakai Jilbab di Padang, Begini Kronologinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI