Â
"Bagaimana kesan-kesannya setelah melakukan penelitian di tempat kami?" tanya wanita setengah baya yang duduk di hadapan Fanny, mahasiswi semester akhir fakultas psikologi yang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya. Bu Merry, nama wanita itu, tersenyum ramah menatap gadis berkacamata minus di hadapannya.
"Saya memperoleh banyak pengetahuan baru, terutama bagaimana cara yang tepat untuk menangani anak-anak berkebutuhan khusus yang karakteristiknya beraneka-ragam. Saya melihat praktek-praktek pendidikan dan pelatihan anak spesial yang ternyata luar biasa menarik dan membutuhkan mental baja dari para terapisnya."
"Contohnya?"
"Ternyata tiap-tiap anak berkebutuhan khusus, baik itu penyandang autis, ADHD, dan down syndromme memiliki karakter, perilaku, dan kemampuan yang berbeda-beda. Seorang terapis yang baik harus mampu menjalin ikatan batin dengan anak yang dipercayakan kepadanya. Ia harus menyelami jiwa anak agar bisa melakukan tindakan yang tepat ketika anak sedang tidak mood, tidak patuh, tantrum, hiperaktif, atau bahkan pasif sekalipun. Program-program terapi tidak bisa langsung diterapkan apabila anak merasa tidak nyaman dengan terapis maupun lingkungan. Agar anak merasa nyaman dan percaya, dibutuhkan mental baja dari terapis untuk bersedia secara ikhlas menyayangi dan melakukan yang terbaik demi kemajuan anak."
Bu Merry manggut-manggut. Pimpinan lembaga pendidikan dan pelatihan anak berkebutuhan khusus itu merasa senang sang mahasiswi mampu menyerap inti dari pembinaan terhadap anak-anak spesial.
"Saya sangat berterima kasih telah diberikan kesempatan untuk menjalankan penelitian di tempat ini, Bu. Apakah sebelumnya juga ada mahasiswa lain yang mengadakan penelitian?"
"Ada beberapa, tetapi tidak banyak. Selama dua belas tahun saya bekerja di sini, sepertinya tidak sampai lima orang termasuk Mbak Fanny."
Fanny ternganga. "Dua belas tahun?"
"Benar. Saya semula ditempatkan sebagai asisten terapis selama tiga tahun. Kemudian menjadi terapis selama lima tahun. Selanjutnya saya dipercaya untuk mengelola tempat ini sampai sekarang."
"Oh, begitu...," gumam Fanny pelan.