Pada sistem zonasi ini pun juga menjadi hal yang membingungkan bagi mereka para pendaftar walaupun dengan jarak dekat sang pendaftar tetapi tetap saja terlempar. Contoh kasus pada salah satu adik teman saya yang mendaftar pada sekolah di kawasan yang terbilang cukup dekat dengan jarak rumahnya bahkan tidak lebih dari 2km.
Tetapi namanya sebagai pendaftar sudah menghilang dan terdata pendaftar-pendaftar yang lebih dekat ratusan meter dari jarak rumah ke sekolah. Walaupun nilai terbilang cukup tetapi tak dapat dipungkiri dengan sistem jarak seperti itu membuat banyak pihak yang merasa kecewa pada sistem pendaftaran saat ini. Â Bahkan jarak yang terbilang dekat pun masih tidak dapat lolos. Jadi sedekat apa? Apakah harus sedekat aku dan kamu?Â
Bagi sebagian pendapat mengenai zonasi ini, pendidikan seakan diukur dengan jarak. Maka dari itu saat wali murid mendatangi gedung Grahadi Surabaya dan kantor kemendikbud berusaha memprotes untuk mengembalikan sistem pendaftaran pada sistem lama yang merujuk pada nilai NEM murid bukan jarak rumah.
Beberapa pendapat juga memaparkan hal pada dua aspek positif dan negatif sistem zonasi ini, ada yang mengatakan hal ini cukup baik karena pemerataan kualitas pendidikan akan semakin lebih baik karena dengan ini sekolah akan sama rata, tidak ada yang memiliki julukan sekolah favorit atau non-favorit. Semua sama.
Ada juga yang berpendapat bahwa sistem ini bisa diterapkan tapi mungkin tidak untuk sekarang, karena fasilitas yang menunjang pun masih belum merata. Kurang adil rasanya jika pendidikan hanya diukur dengan sistem zonasi ini.
Untuk harapannya bagi sekarang mungkin ditunggunya semua keputusan kemendikbud mengenai kelanjutan polemik balada kisah zonasi ini semoga memberikan perubahan maupun keputusan yang baik bagi masyarakat khususnya calon-calon murid dan wali murid yang sekarang lagi bimbang. Dibalik semua ini pasti ada hikmahnya. Semangat lurrrrss...