BAGIAN II --- Doa yang Menampar Langit
Brodin akhirnya menggugat.
Dengan sandal jepit dan map plastik, ia melapor ke kantor Bupati.
Namun baru masuk gerbang, sudah disambut aparat:
"Pak, mohon izin, tamu berkasus dilarang membawa doa ke dalam kantor."
"Lho, saya bawa surat, bukan doa," sahut Brodin.
"Ya sama saja, Pak. Di sini doa bisa jadi ancaman."
Sementara itu, Lurah, Camat, dan Kapolres mulai panik.
Brodin makin dikenal media.
TV swasta menayangkan investigasi besar: "Tanah Warga Dijarah, Bupati Dapat Villa di California."
Slogan di bawah layar pun muncul: "Breaking News: dari sawah ke dolar."
Malam itu, Brodin diundang ke acara talkshow nasional.
Ia tampil sederhana, berkemeja lusuh, dengan mata yang jujur.
Ketika ditanya apakah ia dendam, ia menjawab:
"Saya cuma ingin hak saya. Saya tak minta villa, tak minta pirang Eropa. Saya cuma ingin tenang menanam singkong."
Penonton studio berdiri memberi tepuk tangan.
Di rumah dinasnya, Bupati mematikan TV dengan tangan gemetar.
Tiga hari kemudian, tim KPK datang seperti badai di musim kemarau.
Mereka menyisir ruang kerja Lurah, Camat, Kapolres, dan akhirnya Bupati.
Ditemukan koper uang, sertifikat bodong, serta paspor menuju California.
Lurah pura-pura pingsan, Camat pura-pura sakit lambung, Kapolres pura-pura lupa siapa dirinya.
Dan saat semuanya terbongkar, datanglah adegan paling ganjil dalam sejarah Kabupaten:
Istri Bupati, dengan kerudung berantakan dan air mata yang benar-benar asli, berlari ke arah Brodin.
"Pak Brodin... tolong maafkan suami saya... tolong bantu agar dia bisa keluar dari tahanan..."
Brodin tertegun.
Ia menatap tanah yang kini kembali tenang, lalu berkata lirih,
"Bu, saya bukan hakim. Tapi saya tahu, Tuhan tak pernah salah alamat."
Di kejauhan, para begundal kelas coro -yang selama ini paling keras mendukung proyek itu, lari terbirit-birit ke luar pulau, menyelamatkan diri sebelum diseret KPK.
Sementara itu, langit tampak jernih, seolah baru saja mencuci tangan dari lumpur manusia.
EPILOG