Cerpen  |  BUS MALAM MENUJU SUNYI
DikToko
(Soetiyastoko)
Malam itu, hujan turun rintik-rintik seperti butiran kaca yang jatuh perlahan dari langit. Jalanan kota basah memantulkan cahaya lampu jalan, seperti serpihan bintang yang tercecer di aspal.Â
Aku, Medi van Krusser, baru saja menutup laptop setelah lembur hampir lima jam. Menyelesaikan buku biografi, pesanan Walikota yang belum lama dilantik. Dia ingin, sebelum 17 Agustus, sudah bisa dibagikan.
Pundakku pegal, mataku berat, dan otakku terasa seperti diisi kabut. Sedikit gemetar.
Ada nyeri yang datang seperti penonton merangsek, memaksa mendekati panggung.  Dia menyibak  desak-desakan. Nyeri itu di dada kiriku.  Nafasku tersengal --sesak.
Kupikir malam ini hanya akan kuhabiskan dengan tidur, tetapi suara ketukan di pintu membuatku tersentak.
Tok. Tok. Tok.
Ketukannya pelan tapi tegas, seperti tidak ingin mengganggu, tapi juga tidak bisa diabaikan.
"Siapa?" tanyaku dengan suara setengah malas.
Tidak ada jawaban. Hanya suara hujan.