Humaniora  |  Sejarah Kumatrak: *Jejak Reuni Rindu di Atas Pasir Waktu*
_DikToko_
_(Soetiyastoko)_
Langit Bandung pagi itu biru tosca --kalau tak salah lihat, Â seperti kain batik printing buatan Itali --yang baru dijemur di halaman. Yaa, bukan buatan Yogya atau Pekalongan.
Di arah timur, Matahari tersenyum malu, seperti gadis geulis pertama mendengar rayuan gombal.
Bukan menyibak gerai rambut, tspi kabut tipis yang masih bergelayut di antara pepohonan dan gedung-gedung kolonial. Aroma tanah basah sisa hujan malam sebelumnya membuat udara terasa segar. Hari itu bukan hari biasa --- setelah lima puluh tahun, enam sahabat lama akhirnya bertemu kembali.
Mereka berjalan perlahan menuju taman kecil di dekat Gedung Sate, tempat yang dulu sering menjadi titik temu sebelum pergi kuliah bersama.
Kini taman itu lebih rapi, jalannya berpaving, kursinya diganti yang baru. Namun di mata mereka, seolah tak ada yang berubah. Suara dedaunan yang bergesekan diterpa angin terdengar seperti tepuk tangan menyambut reuni mereka.
Roni, yang dulu paling cerewet, kini mengenakan lurik Jogya hijau zamrud dengan bros puma kecil di dada. Senyumnya renyah, sama seperti lima puluh tahun lalu. Hasan datang dengan tongkat, rambutnya putih seperti kapas, tetapi suaranya tetap lantang. Budi, si penghemat, kini bercucu lima, tapi masih suka mengatur posisi duduk supaya hemat tempat.
"Masih ingat," ucap Roni dengan tawa yang hampir seperti rengekan bahagia, "Waktu kita nekat menggali sumur di belakang kontrakan karena air mati sebulan penuh?"
Tawa mereka meledak. Hasan bahkan menepuk-nepuk lututnya. "Tentu! Kita cuma punya satu cangkul dan ember bocor. Mana tanahnya keras!"
Bayangan itu hadir kembali: tubuh mereka berlumur tanah, tertawa-tawa di bawah lampu redup. Mereka seperti pekerja tambang dadakan. Sampai akhirnya, di kedalaman satu meter, mereka menemukan sebuah peti kayu kecil. Jantung berdegup. Mereka berteriak-teriak seperti menemukan harta karun. Hasan sempat bilang, "Kita bisa beli sumur bor!"
Namun saat peti itu dibuka, isinya hanyalah mainan kayu lapuk, boneka tanpa kepala, dan mobil-mobilan patah roda. Seketika mereka terdiam, lalu tertawa keras. "Harta karun masa kecil orang lain!" kata Budi waktu itu.
"Lucunya, sejak itu kita makin akrab," gumam Roni. "Mungkin karena kita sama-sama merasa telah menemukan sesuatu, meski cuma kenangan orang lain."