Mohon tunggu...
Iwan Sulaiman Soelasno
Iwan Sulaiman Soelasno Mohon Tunggu... -

Pendidikan S1 di Fisip Unas, S2 di Fisip UI. Bekerja di ADKASI (Asosiasi DPRD Kabupaten seluruh Indonesia) sejak 2002 dan menjabat sebagai Direktur Eksekutif ADKASI 2005-2011. Kini Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) dan tenaga ahli di DPD RI

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Seperti Apa RUU Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal/Pemerataan Pembangunan Daerah?

19 September 2018   13:24 Diperbarui: 20 September 2018   08:33 3445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

    Angka melek huruf (AMH) di daerah tertinggal secara rata-rata juga masih rendah, dimana pada tahun 2015 nilainya sekitar 87,67 persen atau 12,33 persen masyarakatnya masih mengalami buta huruf. Untuk kabupaten bukan tertinggal, nilai rata-rata AMH-nya sudah mencapai 95,53 persen dan untuk kota, rata-rata AMH-nya sudah mencapai 98,49 persen. Nilai rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka melek huruf (AMH) di daerah tertinggal yang masih rendah juga tidak terlepas dari rendahnya angka partisipasi murni (APM) di daerah tertinggal dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal, baik untuk pendidikan SD maupun SMP di daerah tertinggal. Untuk daerah tertinggal, rata-rata APM untuk SD pada tahun 2016 hanya sekitar 92,09 persen, untuk kabupaten bukan tertinggal 97,21 persen dan untuk kota sebesar 97,01 persen. Sedangkan untuk rata-rata APM SMP untuk daerah tertinggal pada tahun 2016 hanya berada di bawah 70 persen, dan untuk daerah bukan tertinggal, rata-rata APM SMP-nya sudah di atas 75 persen.

Rendahnya SDM untuk bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi (pengeluaran per kapita) di daerah tertinggal, menyebabkan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di daerah tertinggal juga lebih rendah dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal. Nilai rata-rata IPM di daerah tertinggal pada tahun 2017 adalah sebesar 61,19 (yang masuk kategori sedang, namun bagian bawah -- middle low), untuk kabupaten bukan teringgal sebesar 68,35 (masuk kategori sedang, namun bagian atas -- middle up) dan untuk kota sebesar 76,21 (masuk kategori tinggi).

 

Kemampuan Keuangan Daerah

    Kemampuan keuangan daerah dicerminkan dari kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dari masing-masing daerah. Terdapat banyak indikator yang menunjukan kesehatan fiskal dalam pengelolaan keuangan daerah, antara lain peningkatan pendapatan dalam APBD, porsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam APBD, porsi Dana Perimbangan dalam APBD, indeks kapasitas fiskal, dan lain-lain.

    Pendapatan dalam APBD kabupaten/kota secara umum mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, khususnya disebabkan karena peningkatan pendapatan dari Dana Perimbangan, yang ditransfer oleh Pemerintah Pusat melalui APBN. Pendapatan APBD untuk daerah tertinggal, secara rata-rata masih lebih rendah dibandingkan dengan kabupaten bukan tertinggal dan kota. Pada anggaran tahun 2017, pendapatan APBD daerah tertinggal secara rata-rata adalah sebesar Rp. 1,11 triliun per kabupaten, yang nilainya di bawah rata-rata kabupaten bukan tertinggal yang sebesar Rp. 1,55 triliun dan kota yang sebesar Rp. 1,45 triliun. Apabila disesuaikan dengan data Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), pada tahun 2017 pendapatan APBD daerah tertinggal menjadi lebih kecil, yaitu sebesar Rp. 0,96 triliun, sedangkan untuk kabupaten bukan tertinggal dan kota, justru menjadi lebih besar karena nilai IKK-nya yang jauh lebih kecil.

Apabila dibagi dengan jumlah penduduk, rata-rata pendapatan APBD per kapita di daerah tertiggal memang lebih besar dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal. Namun, hal tersebut tidak menunjukkan bahwa daerah tertinggal memiliki kemampuan keuangan daerah yang lebih bessar. Hal tersebut lebih dikarenakan nilai pembaginya, yaitu jumlah peduduk, dimana untuk daerah tertinggal jumlah penduduknya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal, baik untuk kabupaten bukan tertinggal mapupun kota. Nilai rata-rata pendapatan APBD per kapita untuk daerah tertinggal, misalnya tahun 2017 yang sebesar Rp. 9,45 juta per kapita, apabila disesuaikan dengan nilai Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) di daerah tertinggal menjadi lebih kecil nilainya, yaitu menjadi sebesar Rp. 6,78 juta per kapita. Untuk daerah kabupaten bukan tertinggal dan kota, walaupun disesuaikan dengan nilai IKK, rata-rata pendapatan APBD per kapitanya tidak berubah signifikan, dan bahkan cenderung naik untuk daerah kota.

Indikator yang dapat lebih menggambarkan tentang kondisi riil dari kemampuan keuangan daerah, khususnya daerah tertinggal adalah rata-rata pendapatan APBD per kilometer persegi, baik dengan menggunakan luas daratan maupun dengan menggunakan luas daratan dan lautan, dan khususnya dengan nilai yang telah disesuaikan dengan nilai IKK untuk masing-masing kabupaten/kota. Hal tersebut dikarenakan daerah tertinggal membutuhkan anggaran untuk membangun infrastruktur di wilayahnya, yang selama ini masih dalam kondisi tertinggal. Selain itu, luasan daerah tertinggal secara rata-rata lebih besar dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal, baik untuk rata-rata luas daratan maupun luas lautan.

Dengan menggunakan luas daratan sebagai pembagi dan juga penyesuaian dengan nilai IKK, rata-rata pendapatan APBD per kilometer persegi untuk daerah tertinggal hanya sebesar Rp. 379,2 juta per kilometer persegi, jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata untuk daerah kabupaten bukan tertiggal yang mencapai lebih dari Rp. 1 miliar per kilometer persegi dan rata-rata daerah kota yang mencapai lebih dari Rp. 13,33 miliar per kilometer persegi. Apabila menggunakan luas daratan dan lautan sebagai pembagi dan juga penyesuaian dengan nilai IKK, rata-rata pendapatan APBD per kilometer persegi untuk daerah tertinggal hanya sebesar Rp. 238,2 juta per kilometer persegi, yang juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata untuk daerah kabupaten bukan tertiggal yang mencapai Rp. 805 juta per kilometer persegi dan rata-rata daerah kota yang mencapai Rp. 10,96 miliar per kilometer persegi.

Salah satu sumber pendapatan dalam APBD adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Lain-lain PAD yang Sah. Untuk daerah tertinggal, rata-rata PAD-nya pada tahun 2018 adalah hanya sekitar Rp. 72,3 miliar, yang hanya sekitar sepertiga (1/3) dari rata-rata PAD daerah kabupaten bukan tertinggal atau hanya sekitar seperenam (1/6) dari rata-rata PAD daerah kota. Kontribusi PAD untuk daerah tertinggal, rata-ratanya hanya sekitar 5,85 persen dari keseluruhan pendapatan dalam APBD. PAD untuk kabupaten bukan tertiggal berkontribusi secara rata-rata sebesar 10,96 persen dan untuk kota mencapai 21,52 persen dari keseluruhan pendapatan dalam APBD-nya. Bila ditinjau nilai PAD per kapita-nya, daerah tertinggal memiliki rata-rata sebesar Rp. 0,33 juta per kapita, daerah kabupaten bukan tertinggal sebesar Rp. 0,36 juta per kapita dan daerah kota sebesar Rp. 0,70 juta per kapita. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa kemandirian keuangan daerah di daerah tertinggal lebih rendah dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal.

Dana Perimbangan sampai saat ini merupakan salah satu sumber pendapatan utama dalam APBD kabupaten/kota, yaitu barupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH), baik untuk daerah tertinggal maupun daerah bukan tertinggal. Untuk daerah tertinggal, rata-rata Dana Perimbangannya pada tahun 2018 adalah sekitar Rp. 872 miliar, dimana nilainya hampir sama dengan rata-rata Dana Perimbangan untuk daerah kota. Kontribusi Dana Perimbangan untuk daerah tertinggal pada tahun 2018, rata-ratanya mencapai 75,65 persen dari keseluruhan pendapatan dalam APBD, yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal. PAD untuk kabupaten bukan tertiggal berkontribusi secara rata-rata sebesar 70,95 persen dan untuk kota mencapai 66,94 persen dari keseluruhan pendapatan dalam APBD-nya. Bila ditinjau nilai Dana Perimbangan per kapita-nya, daerah tertinggal memiliki rata-rata sebesar Rp. 7,21 juta per kapita, daerah kabupaten bukan tertinggal sebesar Rp. 3,43 juta per kapita dan daerah kota sebesar Rp. 3,16 juta per kapita. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa keuangan daerah di daerah tertinggal sangat tergantung dari dana transfer yang diberikan oleh Pemerintah Pusat melalui Dana Perimbangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun