Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Taufik Ismail: Mengubah Indonesia dengan Sastra.

22 Mei 2010   12:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:02 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Mereka berjuang, mereka mengabdi, tetapi mereka tidak mati dalam gelimang harta." [caption id="attachment_147418" align="alignright" width="300" caption="Semoga ada generasi yang menerima pelajaran cintamu, Sesepuh"][/caption] Demikian petikan yang sempat saya tangkap saat tadi siang berhadir dalam acara bedah buku: Bacalah, dan seminar tentang membaca. Petikan yang diucapkan oleh seorang punggawa sastra negeri ini, Taufik Ismail di Gedung Serba Guna Institut Teknologi Bandung. Dan itu dilakukan ketika penutupan dengan pembacaan puisi beliau usai sesi pemaparan makalahnya yang diberi judul: Mengejar Ketertinggalan 60 Tahun Lamanya, Banyak Membaca Buku, Membaca Buku, Membaca Buku dan Terus Berlatih Menulis Berlatih Menulis Berlatih Menulis. Sebuah judul makalah yang di mata saya terlihat bukan panjang dan tidak taat asas penulisan judul, tetapi justru saya melihatnya sebagai afirmasi yang bisa dipastikan akan sangat memberi pengaruh terhadap alam bawah sadar yang membacanya. Paparan. Dalam paparan sekitar 60 menit yang beliau lakukan, saya mengamati detail dari cara duduk beliau yang saya akui sangat rileks, tenang. Gesture beliau yang begitu bersahaja. Sampai detail cara beliau mengucapkan kata per kata. Semua menarik perhatian saya dan bahkan semua peserta yang umumnya memang mahasiswa di institusi pendidikan tersebut. Saya pribadi antusias mengikuti detail beliau karena memang selama ini hanya mendengar namanya, membaca puisinya dan wawancara media dengan lelaki sepuh ini. Di samping, pikiran saya berkali-kali teryakinkan ulang, setenar apapun seseorang dan sebesar apapun seorang manusia, ia tetap sebagai manusia. Yang membedakan hanya dedikasi dan bakti atas sesuatu jalan yang diambil untuk mengubah masyarakatnya. Lelaki itu mengambil sastra sebagai pintu ia pancarkan nilai-nilai humanisme dan moral, plus juga nilai reliji. Dan, saya menyebut semua yang ada padanya tidak berbeda dengan kita semua karena cerita beliau tentang masa kecilnya dan sikap beliau saat menerima berbagai berkah. Sebut saja, saat beliau pertama sekali mendapat kabar tulisannya dimuat di salah satu media, keesokan harinya majalah tersebut dibawa ke sekolah. Tidak dimasukkan dalam tas, namun hanya beliau jinjing diluar tas untuk tunjukkan majalah tersebut dengan keyakinan, teman-temannya pasti akan menanyakannya. Benar saja, tiba disekolah "Tumben sampeyan bawa majalah...?" "Iya dong, ini kan majalah yang ada tulisan saya." Ujarnya dengan bangga dan hidung kembang kempis. Kebanggaan yang sangat lumrah, apalagi yang duduk di majalah tersebut adalah Paus Sastra Indonesia, HB Jassin--majalah itu sendiri, Mimbar Indonesia. Kemudian beliau juga dengan begitu apik menceritakan berbagai kekonyolan di masa kecil. Seperti misal, ketika beliau menghadapi sebuah novel berbahasa Inggris, "saya membacanya sampai habis, tuntas dan benar-benar habis dari halaman awal sampai halaman akhir. Saat Bapak saya menanyakan, sudah habis kamu baca? Iya, sudah. Apa yang sudah kamu ketahui dari buku itu? Tidak ada apa-apa." Cerita beliau yang disambut dengan Gerrrrrr dari peserta seminar. Saya sendiri tidak bisa menahan geli dengan gaya beliau bercerita tentang nostalgia masa kecilnya. Selanjutnya beliau juga menuturkan tentang keresahan beliau terkait kurikulum pelajaran Bahasa di Indonesia, sejauh ini penekanan yang sangat banyak hanya pada tata bahasa dan tata bahasa saja, sedangkan ruang untuk mengarang sangat kecil. Sedangkan ketika dulu Indonesia masih sebagai Hindia Belanda, mengarang menjadi sebuah kewajiban yang begitu ditekankan. Menjumlahkan dari kelas satu sampai kelas tiga di sekolah yang setara dengan SMA sekarang, dulu seorang siswa bisa memiliki 108 karangan. Sedang sekarang 3 tahun di SMA hanya diharuskan mengarang sekitar 3-15 karangan saja (Sumber: Makalah Taufik Ismail). Selain itu, dulu ada kewajiban untuk membaca 25 buku, sedang sekarang tidak diwajibkan satu bukupun. Memang, beliau akui, kebijakan seperti yang pernah ada dalam pendidikan untuk anak-anak pelajar setingkat SMA dulu, tidak serta merta mencetak generasi sastrawan. Namun, setidaknya kemampuan tersebut akan sangat membantu dalam jenis profesi apapun.Terkait itu, beliau mengutip sejarah seorang Abege dari Padang

  • Pada tahun 1919 ia masuk sekolah SMA dagang menengah, Prins Hendrik School di Batavia. Wajib baca buku sastra menyebabkannya ketagihan membaca, tapi dia lebih suka ekonomi. Dia melangkaj ke samping, lalu menjadi ekonom dan ahli koperasi. Namanya Hatta.
  • Sedang seorang siswa sebaya dia, di AMS Surabaya, juga adiksi buku. Kasur, kursi dan lantai kamarnya ditebari buku. Tapi dia lebih suka ilmu politik, sosial dan nasionalisme. Insinyur teknik ini melangkah ke samping dan jadi politikus. Namanya Soekarno.

Pesan Taufik Ismail "Saya kebetulan memiliki 2 orangtua yang sangat gemar membaca, selanjutnya saya secara perlahan menjadi seorang anak yang juga suka membaca." Dari sini beliau sangat menekankan untuk mengtransfer kebiasaan positif membaca dengan melakukan langsung di depan anak, dengan begitu kelak mereka akan tertarik sendiri. Gambaran yang beliau sampaikan ini mengingatkan saya pada berbagai kebiasaan yang menyatu dalam keseharian kita sendiri, sesuatu yang sering dilihat cenderung dipandang sebagai sesuatu yang tidak asing, saat tidak lagi terasa asing maka akan dengan mudah untuk juga kemudian ditiru, baik yang positif maupun yang negatif Setelah panjang lebar mengurai sudut pandang beliau berhubungan dengan tradisi membaca dan menulis, sampai pada kesimpulan yang beliau ucapkan dengan tegas, Kita generasi nol buku, generasi yang rabun membaca dan pincang menulis. Jika hari ini ada yang banyak membaca dan mampu menulis, itu bisa dipastikan karena kemauan dan ikhtiar sendiri di luar ruang sekolah (bukan dibimbing oleh sebuah sistem pendidikan nasional) atau karena keberuntungan bisa belajar ke luar negeri. ------ Note: Satu hal yang mengharukan saya, beliau menyatakan bersedia untuk berikan endorsement untuk novel saya: Aku Laila, bukan Cleopatra Sumber gambar: Di sini dan ini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun