Setiap kali berbicara masa depan, ingatan saya kerap terbawa melayang ke masa Sekolah Dasar. Dalam usia yang belum akil baligh, lalu dikenalkan lewat pelajaran Pendidikan Moral Pancasila secara tersirat, idealnya sebuah rumah tangga yang hanya ada ibu dan bapak dengan dua anak. Sejujurnya, saya pribadi ketika itu sempat minder, tidak percaya diri, lantaran ibu bapak saya terlalu berani memiliki anak hingga delapan orang!
Bergerak ke kiri dan kanan, mengintip tetangga dan saudara dekat lainnya, minimal anak yang mereka miliki adalah lima orang, dan tak sedikit yang memiliki keturunan hingga 11-12 anak. Itu baru baru yang berada di sekeliling saya saja dan berdasarkan memori masa kecil hingga remaja, atas fenomena di sekeliling saya.
Ya, itu pengalaman pribadi. Tapi saya percaya, kasus ini tak hanya saya alami, melainkan mungkin terjadi pada ribuan atau bahkan jutaan orang  lainnya di Indonesia. Sebuah keluarga besar, yang besar bukan karena kelimpahan materi atau hal-hal prestisius lainnya, melainkan karena harus menghadapi tantangan sangat besar; tradisi yang memengaruhi sikap mental hingga sudut pandang, sampai dengan prinsip yang menjurus fatalis bahwa semua sudah ditentukan Tuhan dan tak ada yang dapat diubah jika sudah dikehendaki-Nya.
Sekali lagi, itu hanyalah pengalaman pribadi. Ada banyak kesulitan di sana, dan sangat banyak aral dalam proses mencari batu-bata untuk menata bangunan masa depan yang kuat dan kokoh. Sangat banyak tekanan yang harus dihadapi, sementara iklim di sekeliling menuntut untuk berlari. Saya  pribadi membayangkan kehidupan sempat terasa seperti bocah yang baru bisa berjalan namun harus berlari dengan satu ransel besar berisi batu di pundak.Â

Cerita dari pengalaman pribadi itu mungkin mewakili berbagai kemungkinan yang dapat saja terjadi jauh ke masa depan. Pemerintah boleh menggagas rencana semisal Keluarga Berencana, agar lahir keluarga-keluarga yang tak hanya memiliki anak terukur, namun juga memiliki perencanaan yang  juga dapat diukur dan mudah dicapai. Persoalannya, ada kendala dalam hal alam pikir yang gandrung terbangun di tengah masyarakat, dan itu yang tak gampang untuk dibendung.
Skeptis pada perencanaan keluarga, ini yang saya amati terutama di lingkungan masa kecil saya, kerap kali menjadi pemicu lahirnya berbagai hal negatif saat seorang anak berada di "masa depan"-nya. Seorang teman yang di masa kecil rajin ke masjid, menjadi pesaing dekat saya saat sama-sama berburu posisi sebagai juara kelas, di masa remaja menjadi pengurus masjid, namun belakangan terjebak--lagi dan  lagi--dalam narkotika.
Sang teman itu memiliki prestasi tidak sedikit sejak sekolah hingga kuliah, tapi ketika memasuki usia dewasa atau persis menjelang kepala tiga justru terjerat dengan barang-barang haram, hingga membuat dia jatuh terpuruk. Sebuah kenyataan yang sempat membetot perdebatan batin saya sebagai temannya, kenapa harus seperti ini?

Fenomena yang lebih mirip drama itu justru tertangkap oleh mata saya sendiri, sejak remaja. Sebagian dari keluarga itu memiliki tradisi kekerasan di lingkaran sendiri, dan lagi-lagi sebagian mereka juga terjerembab dalam dunia narkotika. Alih-alih mampu menyelesaikan konflik berpuluh tahun yang ada dalam keluarga, mereka justru tak berdaya karena pengaruh narkotika, dan bahkan cenderung dilihat sebagai momok oleh sebagian masyarakat lainnya.
Pemandangan-pemandangan itu juga yang membuat saya mengiyakan penemuan seorang peneliti yang menyebutkan bahwa sekitar delapan dari sepuluh pelaku kriminal berasal dari keluarga yang buruk.