Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Nukman Luthfie, Penebar Inspirasi Itu Pergi

13 Januari 2019   20:43 Diperbarui: 13 Januari 2019   21:04 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertama dan terakhir berfoto bersama dengan sosok Nukman di salah satu kantor kementerian - Foto: Zulfikar Akbar

Kali terakhir saya bersua sosok Nukman Luthfie persis menjelang pertengahan Desember lalu, saat peluncuran karya Alberthiene Endah, Jokowi: Menuju Cahaya sekaligus pameran karya fotografer kenamaan, Darwis Triadi, di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta.

Sosok yang acap saya sapa dengan Mas Nukman ini memilih duduk di kursi barisan paling belakang. Ya, di barisan di mana saya dan beberapa teman lainnya juga duduk. Sempat bercengkrama dan tertawa di sela-sela acara.

Keputusannya duduk di barisan paling belakang cukup menunjukkan siapa dia? Terkenal dan dikagumi banyak orang, namun ia adalah sosok yang rendah hati. Ia ramah dan selalu menunjukkan wajah cerah tiap kali bertemu sahabat-sahabatnya.

Selalu ada kesejukan ditampilkan lewat gurat wajahnya, walaupun sorot matanya tetap menunjukkan karakternya sebagai orang yang memiliki kepribadian kuat, dan memiliki prinsip yang kuat. 

Meskipun ia berusia lebih dari satu dekade di atas saya, ia tak menutup diri untuk bercanda layaknya teman sebaya. Walaupun, sebagai "anak kemarin sore" saya tetap menunjukkan hormat terhadapnya.

Ya, saya sangat menghormati sosoknya. Ia bisa bersikap netral terlepas ia tak menutupi keberpihakannya dalam urusan politik. Ia masih bisa bersikap hangat kepada siapa saja, meskipun ada perbedaan dalam pilihan politik dengan siapa saja. 

Baginya perbedaan bukanlah alasan untuk permusuhan. Inilah yang selama ini ia tampilkan dalam aktivitasnya di media sosial. Bahwa terkadang ada yang mencelanya pun tak membuatnya merasa terusik, dan bisa dibilang tak pernah ia balas dengan penghinaan atau balasan sepadan.

Karakternya memang sangat kuat. Saking kuat, celaan terhadapnya seakan sama sekali tak ada yang membuatnya sakit hati. Tampaknya ia sangat paham, bahwa di media sosial, di jagat internet, tidak semua orang baik dan benar-benar dalam kondisi sehat. Maka itu, ia lebih memilih untuk menampilkan interaksi selayaknya orang sehat. Isi cuitannya, misalnya, dapat dibilang hanya hal-hal yang menyehatkan pikiran dan perasaan, entah sekadar video guyon atau opini-opini yang menginspirasi.

Itu  juga terasa tiap kali bersua langsung dengannya. Namun terlepas sosoknya gemar bercanda, namun di setiap obrolan dengannya hampir tak lepas dari pembicaraan seputar pengetahuan, dan berisikan banyak wawasan. 

Itulah kenapa, bersua figur-figur seperti Mas Nukman, bagi saya adalah kesempatan untuk menyerap ilmu-ilmu baru. Darinya selalu ada hal yang bisa diambil, sebagai inspirasi, atau bahkan motivasi agar dalam berinternet dapat membawa sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang.

Inilah yang bikin banyak orang merasakan kehilangan. Sangat kehilangan, karena ia memang pribadi yang mampu meninggalkan kesan kepada banyak orang. Dan, ini juga yang saya rasakan.

Apalagi, meski ia terkenal sebagai figur kaya wawasan dan pengetahuan, namun di setiap obrolan, ia acap memilih menempatkan lawan bicara secara setara. Meskipun dalam banyak hal ia punya banyak kelebihan, namun ia acap berbicara tanpa menggurui. 

Baginya, internet adalah jalan yang bisa mengantarkan ke mana saja. Juga bisa menjadi jalan untuk bisa mengantarkan pesan baik ke mana saja. Itu juga yang acap disisipi olehnya tiap kali tampil sebagai pembicara, atau bahkan dalam obrolan-obrolan biasa.

Tak terkecuali ketika ia menyampaikan kritikan pun, sangat terasakan bahwa kritik itu ditujukannya untuk sesuatu agar benar-benar membaik. Sebut saja ketika ia mengkritik salah satu media, ia meminta supaya media mainstream memiliki gaya tersendiri, tidak perlu meniru gaya media sosial.

"Media berbasis jurnalistik seperti @tribunnews harusnya paham standar jurnalistik, bukan asal kutip status akun media sosial. Kalau begini, apa bedanya media berbasis jurnalistik dengan media sosial?" cuitnya di akun twitter-nya @nukman. 

Begitu juga memasuki tahun 2019, ia pun sempat mencuitkan pesan penting di tengah kegandrungan publik larut dalam gonjang ganjing. "Warganet (semestinya) jauh lebih percaya pada berita media berbasis jurnalistik dibanding desas desus di media sosial," pesannya.

Itu hanya sekelumit gambaran bagaimana ia membagikan kebaikan lewat kegiatan berinternet. Selalu ada pesan baik, entah saat bertatap muka langsung dengannya, atau bahkan ketika ia hanya berbicara lewat media sosial.

Paling tidak, keteladanannya itu juga cukup menggambarkan alasan di balik kenapa banyak teman atau sekadar kenalan merasa sangat kehilangan. 

"Orang baik, saat meninggal pun, banyak yang mendoakan," begitu salah satu bunyi cuitannya. Itu juga yang kini ia dapatkan. Banjir doa untuknya, sosok yang berlatar belakang santri meski jarang tampil ala santri kecuali kalau ada acara ke Ciganjur--seperti saat hadir ke haul Gus Dur. Ia santri yang sukses menunjukkan kesantriannya dalam karakter dan dalam pengabdiannya dengan pengetahuan yang ia punya.

Selamat jalan, Mas. Senyummu yang acap kau tebar kepada sahabat-sahabatmu, semoga abadi di sana, dan Yang Maha Pengasih pun menyambutmu dengan senyuman-Nya. Kami kehilangan, tapi pesan baikmu tak akan hilang.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun