Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Hoaks Prabowo dan Citra Sebuah Rumah Sakit

7 Januari 2019   00:12 Diperbarui: 7 Januari 2019   00:30 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kali ini, citra sebuah rumah sakit jadi sasaran. RSCM sebagai rumah sakit malah jadi pesakitan. Mereka harus menanggung sorotan hingga dampak dari tudingan semena-mena dari salah satu figur yang berambisi besar memimpin negeri ini. - Gbr: KompasTV

Tidak ada politisi yang tidak membutuhkan pencitraan. Seperti juga perusahaan, pun tak kalah butuh dengan citra baik. Di tengah keriuhan pidato Prabowo Subianto yang menyeret nama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dengan tuduhan menggunakan selang cuci darah untuk puluhan orang, pikiran saya terlempar ke soal yang sekilas sepele: citra!

Anda kenal Bunga Citra Lestari atau Citra Scholastika?

Apa hubungan kedua seleb tersebut dengan sentilan di awal tulisan? Ya, mereka juga memakai kata "Citra" di dalam nama mereka. Boleh jadi sebagai sebuah pesan, atau mungkin juga ekspektasi orang tua mereka agar putri mereka bisa menjadi citra sebagai perempuan. Bahkan bisa jadi lebih agung dari itu, menaikkan citra perempuan di sebuah negara yang katanya terlalu patriarkis ini.

Sedikitnya, itu cukup menggambarkan bagaimana pentingnya urusan citra. Ini juga yang sangat saya sayangkan dari sosok Pak Bowo, salah satu capres kita itu, yang memang sedang bekerja keras mengangkat citranya, namun berkali-kali menutup mata terhadap citra pihak lain.

Kali ini, citra sebuah rumah sakit jadi sasaran. RSCM sebagai rumah sakit malah jadi pesakitan. Mereka harus menanggung sorotan hingga dampak dari tudingan semena-mena dari salah satu figur yang berambisi besar memimpin negeri ini.

Padahal bukan rahasia, perusahaan manapun--jika sepakat mengatakan rumah sakit pun berjalan dengan manajemen perusahaan--membutuhkan perusahaan teramat besar untuk bisa mengangkat citra, menjaga citra, dan menyelamatkan citra dari berbagai tudingan miring.

Apa yang baru saja mereka alami, sebuah citra sebagai rumah sakit ternama dan terbilang paling dipercaya di Indonesia justru terusik oleh seseorang yang sedang menjalani pertarungan untuk bisa meraih posisi sangat penting: pengen jadi presiden!

Jika mengatakan soal citra sebagai soal nama baik, maka ketidakpedulian seseorang yang kebelet ingin jadi presiden terhadap nama baik pihak lain, apakah bisa dikatakan sebagai urusan biasa-biasa saja?

Kembali lagi, banyak perusahaan harus mengeluarkan biaya besar untuk urusan menjaga nama baik. Jadi, apa yang baru dipamerkan salah satu capres tersebut terhadap nama baik RSCM, dapat dikatakan telah membawa kerugian besar terhadap rumah sakit tersebut.

Apakah ini masih mau dikatakan sebagai sebuah masalah sederhana? 

Namun ini memang kaitannya dengan sebuah pertarungan menuju kekuasaan. Pertarungan ini yang acap diratapi oleh penyair dalam syair-syair mereka, atau filsuf dalam kesendirian tersunyi mereka, atau para agamawan yang masih mau melihat sesuatu apa adanya tanpa dikaburkan oleh keinginan sebagai manusia biasa. 

Sebab, pertarungan itu memang kerap menghalalkan segala cara. Di sanalah istilah "haram" sama sekali tak tercantum dalam kamus mereka. Seisi kamus hanya berisi kata "boleh" dan "boleh" alias semua halal. 

Bahkan Emha Ainun Nadjib yang acap dikenal dengan Cak Nun pun pernah meratapi hal yang persis serupa. 

Ringkasnya, merujuk kata Cak Nun dalam buku "Titik Nadir Demokrasi: Kesunyian Manusia dalam Negara"ada ratapan dengan aroma kurang lebih sama, bahwa pemelesatan--jika setuju menyederhanakan kebohongan sebagai pemelesetan--jika dilakukan dengan sadar, apalagi untuk rekayasa-rekayasa kekuasaan, maka mungkin seorang akan hanya menghadapi dua kemungkinan.

Apa  saja kedua kemungkinan ala Cak Nun itu? Pertama, diam, menyerah, dan hancur. Kedua, berang, marah, melawan, dan mati.

Ya, mungkin jika dikulik lebih jauh ke mana arah kerisauan Cak Nun tadi, lebih ke pemandangan yang pernah ada di masa lalu. Di masa ketika mertua salah satu capres masih menjadi raksasa yang terlalu sulit ditumbangkan.

Saat itu, keluarga miskin disederhanakan sebagai prasejahtera, dan berbagai penyederhanaan lainnya. Lugasnya, itulah cara "sang mertua" membungkus kebohongan. Bahkan kala itu, maling ayam yang dihajar serdadu saja, bisa disederhanakan sebagai "dibina" meski orangnya sudah babak belur.

Kembali ke cerita salah satu capres, apakah ia juga memang sangat terilhami sang mertua? Bisa jadi, bisa juga tidak. 

Sebab, sang mertua membangun "pemelesetan" tadi ketika sudah berkuasa, sementara sang menantu melakukan itu saat ia sendiri masih mengayunkan langkah untuk bisa mencicipi bagaimana sebenarnya kursi kekuasaan dan aroma istana ketika bisa menjadi tuan di sana.

Masalahnya, si menantu ini terbilang kelewatan. Belum juga jadi penguasa sudah semena-mena. Paling semena-mena karena berkali-kali tanpa merasa berdosa menjatuhkan nama banyak pihak hanya untuk mengangkat namanya.

Kalau saja sekadar terhenti di dia, dan tak membawa pengaruh kepada siapa-siapa, tentunya itu bukanlah sebuah persoalan.

Masalahnya, lantaran ia memiliki pengikut yang terbilang jutaan, bahkan untuk sekali aksi di lingkaran Monas saja bisa sampai tujuh hingga 11 juta berdasarkan hitungan suka-suka, bisa dibayangkan pengaruh setiap pernyataannya. Apalagi di hampir setiap ia bicara, hampir semua menempatkan setiap muncratan ludahnya setara sabda maharaja yang takkan ada yang mengingkarinya.

Dengan segala kelebihan itu, apakah ia membayangkan sejauh apa dampak terhadap sebuah rumah sakit yang sejatinya tidak punya urusan apa-apa dengan politik dan copras-capres? Padahal, selayaknya rumah sakit, entah "cebong" atau "kampret" semua akan ditampung di sana secara setara. Semua butuh mereka.

Kenapa pula harus menyerang pihak yang tidak ada hubungannya dengan kontestasi politik? 

Padahal jika ditilik dari sisi bahwa yang bersangkutan adalah orang yang berpengalaman di dunia militer, dan sudah menjangkau pangkat di jajaran jenderal, rasanya naif menyebutnya tidak mampu memetakan lawan dengan cukup jelas. 

Atau, jangan-jangan sejak berkarier pun ia sudah terbiasa menghantam siapa saja tanpa memusingkan itu lawan atau bukan, dan terpenting bisa mengirim laporan sudah meluluhlantakkan lawan? Ah, semoga ini hanya praduga saya saja. 

Walaupun jika mengulik bagaimana pihak rumah sakit saja bisa jadi sasaran--diibaratkan tembak-menembak--jangankan jenderal, kopral saja rasanya takkan mau buang-buang peluru. Ini kok bisa begini? 

Padahal setelah pernyataan-pernyataan yang merugikan pihak lain tersebut, pihak yang tidak berdosa, ia hampir dipastikan takkan punya kesempatan untuk memulihkan nama baik sebuah rumah sakit yang sudah dinodainya. Sebab, ini sudah mendekati atau sudah memasuki 100 hari paling menentukan. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, sebab yang mesti diprioritaskan pastilah menyelamatkan citra sendiri. 

Sedangkan urusan citra rumah sakit tadi? Bisa jadi ini butuh uluran tangan Bunga Citra Lestari, atau bisa jadi Citra Scholastika. Yang jelas, urusan ini juga tak bisa dipulihkan hanya dengan merek lotion yang konon digemari para perjaka.***

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun