Papua pernah diperjuangkan dengan berdarah-darah. Bahkan setelah kemerdekaan pun, daerah yang berjarak paling jauh dari Pulau Jawa tersebut sempat tidak lepas dari cerita darah. Mereka yang lahir di sana sebagian memilih memberontak karena pesimisme terhadap beberapa rezim yang pernah memerintah.Â
Belakangan, pesimisme itu mulai surut, dan cerita Freeport yang kembali dalam rengkuhan Indonesia, dapat dikatakan sebagai satu tonggak penting untuk menurunkan pesimisme itu, dan pelan-pelan membangkitkan optimisme; bahwa orang Papua adalah orang Indonesia.
Cerita pemberontakan memang sempat menjadi sesuatu yang melekat erat dengan masyarakat di sana, lantaran Organisasi Papua Merdeka (OPM) terbilang cerdas menjadikan diri mereka sebagai buah bibir. Tentu saja, pemberontakan ini sendiri tidak lahir begitu saja, melainkan karena adanya kekecewaan hingga berbagai prasangka yang terakumulasi untuk menjadi gerakan bersenjata. Lewat senjatalah kekecewaan itu diletupkan, dan lebih sering dibincangkan daripada bagaimana nasib Papua sendiri.
Presiden Joko Widodo tampaknya sangat menyadari itu. Bahwa, pemberontakan tidak lahir begitu saja, melainkan karena ada penyebab, dan menemukan akar masalahnya hingga mencari solusinya.
Ada kesan kuat, pria asal Solo yang kini memimpin Indonesia tersebut, menangkap bahasa batin orang Papua. "Rumah kami dipenuhi harta, tetapi kami untuk makan di rumah sendiri pun terusik oleh banyak tangan-tangan rakus."
Ya, ketidakadilan yang membuat masyarakat Papua sempat tenggelam dalam amarah yang panjang. Kemarahan yang sempat berujung berbagai cerita fatal, dari darah tumpah hingga nyawa melayang.
Itu juga terungkap dari kemarahan tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Panglima Operasi Komando Daerah Pertahanan TPNPB III Kalikopi, Nemangkawi, Papua, Hendrik Wanmang, bahkan sempat menegaskan jika kemarahan mereka lebih tertuju ke Freeport karena di masa lalu keberadaan perusahaan itu sempat dipandang hanya pemicu luka mereka sebagai orang Papua.
Bahkan belum lama, mereka sempat melakukan pembakaran terhadap berbagai aset dimiliki Freeport, karena mereka masih menilai itu hanya simbol pengisapan terhadap kekayaan tanah mereka. "RS dan sekolah itu aset Freeport. Kedua instalasi itu selama ini hanya dimanfaatkan Freeport untuk kepentingannya sendiri. Selama ini rakyat ditipu oleh Freeport," itulah ungkapan tokoh OPM, Hendrik Wanmang, menyiratkan di mana pemicu luka hati mereka sebagai orang Papua.
Kini dengan kembalinya Freeport ke tangan negara, ada harapan, masyarakat Papua kini bisa merasakan bahwa ini adalah kembalinya ruh mereka sebagai orang Papua yang bisa bekerja dan mengejar cita-cita mereka sejajar dengan daerah-daerah lain di Nusantara.
Dulu, ketika mendengar pemerintah, terkesan hanya dekat dengan darah, dan cerita tentang gagahnya orang-orang serakah. Kini, masyarakat Papua bisa melihat langsung, dan merasakan tangan pemerintah yang lebih kokoh dalam merangkul mereka, berkeringat bersama mereka, untuk membangun, dan makan di rumah sendiri tanpa lagi ada ketakutan yang menghantui.