Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Tak Ada Kembang Api di Hari Buku Dunia

23 April 2017   23:44 Diperbarui: 24 April 2017   09:00 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Buku bukan hanya jendela dunia, tapi jembatan untuk anak menuju tempat terbaik baginya kelak dewasa - Foto: @zoelfick"][/caption]Bagi para pecinta buku, tanggal 23 April itu adalah hari istimewa. Di tanggal itulah mereka merayakannya sebagai Hari Buku Dunia. Tak ada kembang api, tak ada konvoi, tak ada hal yang akrab menandai sebuah hari peringatan, tapi pecinta buku sedunia punya cara tersendiri merayakannya.

Di beberapa tempat, biasanya ada komunitas yang mengadakan diskusi di tanggal itu. Mereka membincangkan buku, apa yang dituangkan dalam buku, hingga kenapa sebuah buku bisa mengubah dunia.

Bagi para pecintanya, Hari Buku memang tak perlu dirayakan dengan ingar bingar. Seperti halnya mereka kerap menghabiskan waktu membaca di tempat-tempat sepi, saat merayakannya pun sering tak lepas dari nuansa sepi tadi.

Tapi dalam sepi itu juga mereka mencari. Dalam sepi itu mereka menggali. Masalah apa yang belum terpecahkan? Penemuan apa yang belum ditemukan? Atau, kebaikan apa yang belum dilakukan dan harus dilanjutkan?

Biasanya, itu yang kerap menyusup ke dalam pikiran para pembaca buku itu. Dalam sepi, pikiran mereka justru tak pernah sepi dari pertanyaan, dari pergulatan, dari upaya mencari cara; memberi jawaban atas berlaksa pertanyaan itu sendiri.

Tak jadi soal, apakah kelak mereka akan menemukan jawaban, atau justru mereka memilih menciptakan lebih banyak pertanyaan lagi. Bagi mereka, makin banyak pertanyaan justru jauh lebih penting dari sekadar jawaban.


Bagi mereka, jika semua terjawab justru itu tak ubahnya kematian; karena akal tak akan bekerja lebih keras, atau bahkan berhenti. Maka itu para pembaca buku dan penulisnya sama-sama bergulat, meski berusaha menemukan jawaban, tapi mereka pun berusaha lebih keras melahirkan pertanyaan lebih banyak.

Yang jelas, buku-buku telah memberi tenaga sangat besar kepada banyak orang sehingga mereka tercatat sebagai tokoh besar. 

Di Indonesia, para tokoh besar seperti Soekarno, H. Agus Salim, Mohammad Hatta, Pramoedya Ananta Toer, bahkan dalam penjara pun mereka menyempatkan membaca. Menariknya, meski mereka sebagian besar pernah merasakan penjara dan ada sebagian besar menghabiskan usia dalam penjara, mereka justru melahirkan banyak hal yang merangsang banyak orang.

Ya, mereka yang pernah di balik penjara dan tetap mencintai buku, kemudian justru tercatat sebagai orang-orang yang mampu membantu banyak orang agar memiliki pikiran yang tak pernah terpenjara. Di sanalah, mereka lantas dicatat oleh sejarah dengan tinta emas, meski di masa hidup nyaris tak terdengar bergelimang emas.

Bagi mereka itu para pecinta buku itu, penjara sama sekali tak menakutkan. Bagi mereka, yang mereka takutkan hanyalah jika pikiran terpenjara.

Jika badan terpenjara, namun pikiran tetap merdeka, semangat untuk hidup akan tetap nyala. Sebab mereka tersadarkan, bahwa dengan pikiran mereka yang tak terpenjara maka mereka bisa membantu banyak orang di luar penjara--entah mereka sendiri tetap terpenjara ataukah tidak.

Memang, tanggal 23 April itu sendiri tak lekat dengan tokoh di negeri kita sendiri secara langsung. Bahkan Hari Buku Dunia itu sendiri baru ditetapkan oleh Badan PBB, Unesco, pada 1995.

Pun, alasan penetapan tanggal 23 itu juga lebih lekat dengan Eropa. Sebab pada tahun 1923 pernah ada salah satu toko buku di Spanyol yang memilihnya sebagai Hari Buku, jauh sebelum PBB mengesahkannya.

Juga, adanya tanggal itu juga tidak lepas dari tokoh di dunia kepenulisan Spanyol, Vicente Clavel Andres. Ia mengagas itu hanya dorongan ingin menghormati seorang penulis dikaguminya, Miguel de Cervantes yang kebetulan memang manggat di tanggal itu.

Jadi, ada keterkaitan Hari Buku dengan hari kematian. Tapi, di sisi lain, asa para pecinta buku dari Hari Buku itu adalah justru agar pikiran manusia tetap nyala, bahkan ketika mereka mati pun pikirannya tetap hidup.

Toh, selama ini terbukti, dari Leo Tolstoy, Friederich Nietzsche, Leo Strauss, Jacques Derrida, hingga Pram, Rendra, Romo Mangun, Abdurrahman Wahid, Nucholish Madjid, adalah sebagian dari pemikir dunia yang memang telah menemui kematian secara usia yang memang terbatas. Tapi, lihat, bagaimana pikiran-pikiran mereka tetap hidup, dihidupkan, dan menghidupkan.

Saat tanah mungkin telah memamah hancur tubuh mereka di dalam kubur, pikiran mereka tak pernah luntur. Bahkan menancap di banyak pikiran jutaan orang yang masih hidup.

Di situlah buku bekerja. Di sanalah buku menunjukkan, seberapa besar ia punya tenaga.

Ya, peringatan Hari Buku ini ada kedekatan dengan kematian. Konon, sastrawan legendaris William Shakespeare pun mati pada 23 April. Tapi, kematian itu bukanlah sebuah hal menakutkan. Yang perlu ditakutkan itu jika pikiran justru mati, hanya mengikuti yang telah didiktekan dan telah didoktrin, tanpa upaya mencerna kembali.

Sering kali, kehancuran dunia justru karena transfer pemikiran dengan sedikit pilihan. Dari sana, baku hantam hingga perang pun lahir. Berbeda ketika pemikiran makin kaya, pilihan makin banyak, dan setiap menghadapi kesulitan pun masih dapat menemukan jalan keluar terbaik.

Hari Buku memang punya hubungan dengan cerita kematian. Tapi, sekali lagi, lewat bukulah telah banyak manusia akhirnya tiba di titik abadi, lantaran mampu meninggalkan pemikiran yang dijadikan acuan miliaran pikiran lainnya.

Memang ada buku-buku yang buruk, yang mungkin hanya melempar pembacanya ke dalam cara berpikir buruk. Tapi itu tak benar-benar buruk, selama pecinta buku tak berhenti membaca.

Di masa lalu, saya sendiri menjadi bagian pembaca dongeng anak-anak yang bercerita tentang peri, ksatria gagah berkuda, hingga para tukang sihir yang bisa mengubah segalanya hanya dengan sepotong tongkat. 

Sebagian besar para pecinta buku mengalami itu.

Tapi, buku-buku dongeng pun adalah jembatan bagi mereka para pecinta buku, menuju dunia sebenarnya dan memotivasi mereka sehingga hal-hal yang dulu hanya terasa sebagai dongeng justru sebenarnya bisa dikejar dan memang ada. Ya, setelah buku demi buku mereka lahap, mereka menjadi ksatria karena di masa dewasa berubah jadi figur yang tergerak untuk menebar kebaikan meski tak berkuda; menjadi penyihir karena masalah yang mustahil di mata banyak orang menjadi mungkin di tangan mereka.

 

Jadi, buku bukan sekadar kertas. Kecintaan kepada buku bukanlah "cinta buta" yang membutakan, tapi inilah cinta yang menjernihkan penglihatan dan pikiran. Lewat lembaran kertas buku itulah, yang putus asa menemukan harapannya, yang lemah menemukan kekuatannya, dan yang bodoh menyadari kebodohannya.

 

Kesadaran. Ya, sering kali kepuasan seorang pecinta buku tak melulu karen mereka terlihat cerdas, tapi karena mereka jadi tersadar dengan kebodohannya. Itulah yang sering kali membantu menggerakkan mereka sendiri keluar dari kebodohan itu, dan membantu yang lain berdasarkan pengalamannya. Jadi, mari jatuh cinta, kepada buku.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun