Mohon tunggu...
Sodik Permana
Sodik Permana Mohon Tunggu... Wiraswasta - JnT Cargo

Penikmat filsafat dan penulis pemula yang senantiasa berusaha konsisten dalam belajar sesuatu yang belum terfahami.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Wali Majdzub, Landasan Argumentasi dan Sikap Kita

10 September 2022   10:46 Diperbarui: 10 September 2022   10:48 3191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar; (KMNU)

Sebagai pengalaman berharga ketika saya seorang yang menilai diri sendiri sebagai pribadi yang angkuh, memiliki keburukan seperti tidak ingin kalah dalam berdebat, namun itu sudah lama berlalu saat masih duduk di bangku kuliah yang kemudian duduk dalam majlis yang dikelilingi oleh masyarakat heterogen. Sontak mau tak mau harus menyesuaikan dengan keadaan sekitar, tapi disinilah pengalaman berharga itu dimulai. 

Di dunia mahasiswa kala itu saya dipenuhi dengan suguhan pemikiran filsafat pada akhirnya secara tidak langsung itu menjadi sebuah landasan berfikir, klaim memiliki guru filsafat saya kira tidak layak karena pencarian-pencairan jawaban dari pertanyaan yang muncul dibenak selalu di selesaikan dengan mencari buku yang dianggap relevan.

Ini merupakan salah satu letak kesalahan saya dalam mengarungi alam pemikiran, karena setelahnya saya dipertemukan dengan karya pemikir islam yaitu Mulla Sadra yang mengatakan secara sederhana dalam bukunya Al-hikmah Al-muta'aliyah bahwa haruslah kita menyeimbangkan akal dan hati agar pemikiran kita intelek. Karena berkelut melulu dengan literasi akal akan meruntuhkan nilai kita sebagai manusia yang beradab, dengan adanya sosok gurulah ke-adab-an kita terbentuk, dan itulah makna hati dalam mengarungi alam pemikiran. Memberikan suatu pelajaran bahwa substansi argumentasi kita tidak bisa kita paksakan untuk bisa difahami oleh masyarakat umum terkhusus dikampung halaman saya, keterlupaan kita terhadap hati ini menjadikan kita lupa kepada siapa kita bicara ?, fahamkah maksud yang kita bicarakan ?. karena sensitivitas masyarakat harus menjadi pertimbangan saat kita berargumen, itu berlaku secara umum sejatinya manusia memang harus menjaga lisan nya agar tak ada orang yang merasa tersakiti.

Tulisan ini merupakan hasil dari dialog malam selepas acara pengajian rutin di musola Al-barokah, pengajian yang menelaah atau 'ngalogat' (dalam bahasa sunda) suatu kitab kuning yang sering kita temui di berbagai pengajian umum baik di masjid ataupun di musola. Rangkaian pengantar yang tak karuan ini saya harap terdapati suatu nilai positif dalam bermasyarakat. Dan dengan harapan bahwa tulisan ini sebagai referensi tambahan atau sekedar pendapat tambahan dari beberapa topik yang didialogkan. Semoga dapat memberikan apa yang diharapkan oleh orang yang mudah-mudahan membutuhkannya.

Munculnya Persoalan

Sederhana persoalan ini muncul dari media sosial berbasis video yang sering saya gunakan, barangkali beberapa teman-teman sering menemukan beragam isu kita dapati dengan mudah dari teknologi ini. Mengutip perkataan beberapa pakar dan ulama bahwa menghadapi era digital ini  kita harus menjadi smart user, penggunaan media sosial dengan baik. Kemudahan digitalisasi memberikan kompleksitas dampak yang tidak bisa kita batasi bahkan dicegah sekalipun karena dunia digital ini disetting sedemikian rupa sebagai dunia bebas kolaborasi, partisipasi luas dan real-time meskipun di tanah air kita sudah diberlakukanya UU ITE untuk membatasi penyebaran informasi digital yang berkonotasi "tanda kutip". 

Polemik bagi ummat beragama terkhusus muslim ketika kemudahan ini menjadi suatu ajang bertemu dan terkumpul serta tersebarnya isu-isu agama. Arah isu ini tentu kita tahu sering kepada hal-hal yang berdampak pada perpecahan, ujar kebencian sering kita temui di media sosial. Bermula dari perdebatan suatu persoalan yang tidak sedikit berujung pada ujaran kebencian, golongan-golongan semakin mudah terbentuk, pro kontra semakin cepat terjadi, dan pada ahirnya tidak sedikit menuju ambiguitas dalam beragama, dan itu fakta. Bisa jadi fenomena ini terasa oleh kalangan masyarakat yang hanya mengakses media sosial, namun lambat-laun akan meluaskan sampai pada khalayak yang lebih besar. Dan era digitalisasi ini menjadi salah satu munculnya berbagai persoalan secara cepat dan kompleks.

Perdebatan Wali Majdzub

Inilah persoalan yang muncul setelah beberapa persoalan lainya, bisa jadi ini bukan persoalan yang baru hanya saja untuk kali ini menjadi trending topik di platform media sosial. Sebenarnya soal trending itu relatif bagi saya dan teman-teman, tapi ini cukup memberikan gangguan dan keresahan saat mengamati beberapa argumen dari golongan tertentu tentang persoalan ini. Kedua-kalinya saya katakan kemudahan  mengakses media sosial dalam hal ini berkonotasi sebagai media dakwah yang berujung pada suatu perdebatan tidak langsung, memberikan dampak yang bisa kita katakan menggoyahkan keyakinan. Bukankah ini cukup berbahaya ? bayangkan saja apabila masyarakat menelan mentah-mentah argumentasi atau pertentangan itu meruntuhkan keyakinan yang kemudian merubah sikap seseorang.

Golongan A memiliki argumentasi dengan landasan ilmu dan interpretasi ayat mengenai eksistensi wali majdub, golongan B membantah bahkan menentang argumentasi tersebut dengan landasan ilmu dan interpretasi lainya. Melihat dari dua pendapat yang saling berlawanan ini tentu bukan hanya sudut pandang akal saja kita gunakan, melainkan sudut lainya yaitu hati yang berkenaan dengan adab. Konotasi yang dilemparkan bahwa segmen dari pembahasan ini adalah perkara ibadah, golongan yang menentang konsep wali majdub mengatakan bahwa tidak mungkin seorang wali itu seseorang yang akal nya sudah di cabut sehingga berkelakuan layaknya orang gila. Wali Allah itu terpilih karena tingkat ke-'alim-an yang tinggi sehingga tidak mungkin ia akan meninggalkan perkara syariat, begitulah kira-kira pandangan b terhadap wali. Disini bisa kita fahami bahwa menurut b wali itu bukan dari kalangan manusia yang tidak memiliki kewarasan atau gila, karena menurutnya akan menjatuhkan derajat islam.

Perihal dalil ke-wali-an bebrapa kita mensepakati terhadap Al-Qur'an surat Yunus ayat 62;

"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kehawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati".

Beberapa tafsir mengatakan bahwa ini merupakan perintah Allah agar kita mengetahui dan mengingat para wali Allah yang ada di muka bumi, dan mereka (wali-wali allah) tidak memiliki sedikitpun kehawatiran kelak di akhirat juga tidak bersedih atas persoalan duniawi karena menganggap akhirat adalah kehidupan sesungguhnya. Pada ayat selanjutnya pada surat Yunus : 63, dijelaskan menurut tafsir Al-Misbah bahwa wali Allah ialah orang yang membenarkan semua yang datang dari Allah, mereka tunduk kepada kebenaran, menjauhui kemaksiatan dan takut kepada Allah dalam segala tindakan. Kemudian dalil tentang wali juga bisa kita temui dalam salah satu hadist qudsi;

"Diriwayatkan dari Abi Umamah r.a, dari Nabi Muhammad bersabda; Allah Azza wa Jalla berfirman, 'sesungguhnya wali-wali (para kekasih) yang terbaik menurutku adalah seorang mukmin yang ringan kondisinya, punya bagian dari shalat, menyembah Tuhannya dengan baik, menaati-Nya saat sepi (dalam keadaan sirri/tersembunyi), tidak dikenali orang dan tidak ditunjuk dengan jari, rizkinya pas-pasan (hanya cukup bagi dirinya sendiri) lalu ia bersabar atas hal itu'. Setelah itu Nabi mengetuk-ngetukan tangan beliau, kemudian beliau bersabda, 'Kematiannya dipercepat, sedikit wanita yang menangisi dan sedikit harta peninggalanya.'"

Perdebatan soal wali majdub kita sandarkan kepada suatu dalil bahwa Allah memiliki hak prerogratif, sederhananya bahwa tidak ada suatu apapun yang tidak mungkin jika Allah berkehendak. Dari sudut pandang ini kita fahami perkara pertentangan yang disampaikan oleh golongan b secara tidak langsung menisbatkan bahwa ada ketidak-mungkinan itu terjadi, lebih ekstrim bisa dikatakan bahwa mempercayai seorang wali majdub bukanlah kehendak Allah, begitukah ? Saya kira tidak ada yang mustahil bagi Allah. Dalam menyelesaikan persoalan ini kita bahas beberapa point;

  • Kehendak Allah, tidak ada yang mustahil bagi-Nya

Kita meyakini bahwa kehendak Allah merupakan suatu yang tidak bisa dibantah, logika ketuhanan harus kita sandarkan untuk memahami kehendak tersebut. Pertama, Tuhan adalah pencipta alam semesta, tidak ada yang tidak bisa Tuhan ciptakan. Kedua, Tuhan adalah Maha Kuasa, tidak ada yang tidak bisa Tuhan lakukan baik di dunia ataupun di akhirat. Ketiga, Tuhan Maha Segalanya, akal kita memahami kemudian bahwa jjika ada sesuatu yang menjanggal bahkan bisa dikatakan sesuatu itu tidak mungkin, maka secara tidak langsung argumentasi itu runtuh dengan sendirinya, karena kalimat 'tidak mungkin / mustahil' itu tidak berlaku bagi Tuhan.

  • Memahami hakikat wali, manusia yang dipilih Allah sebagai kekasih-Nya

Wali adalah manusia yang dipilih Allah atas dasar kehendak Allah sendiri, untuk memahami hal ini tentu bisa berdasarkan ayat yang sudah disebutkan dan bahkan penjelasan wali juga ada di surat yang lain. Sederhananya, jika manusia (siapapun itu dan bagaimanapun ia) dipilih Allah sebagai wali-Nya maka tidak ada suatu kekuatan pun bisa menolaknya. Pemahaman ini meruntun dari bagaimana akal kita memahami Tuhan.

  • Definisi majdub, dan  ibadah dalam sepi dan tersembunyi (sirri)

Kata majdub dalam beberapa literatur dan berbagai referensi adalah 'tertarik-terhisap-tenggelam dalam keasyikan pada sesuatu. Ketika manusia tenggelam dalam kecintaan kepada Allah dan Rosul-Nya, maka yang akan dilakukan manusia itu adalah upaya-upaya mendekatkan diri kepada-Nya, sesuai dengan yang dijelaskan pada hadist qudsi diatas. Ia akan menghilangkan segala sesuatu yang membuat hijab baginya untuk mendekatkan diri kepada-Nya yaitu urusan dunia (yang berlebihan), menyembah Tuhan-Nya dengan sangat baik dan terpenting adalah semua penyembahan dan upaya mendekatkan diri itu dilakukan dalam keadaan sirri atau tersembunyi. Seperti percakapan Sayyidina Umar dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib dengan Uwais Al-Qarni, Uwais Al-Qarni mengatakan bahwa cukuplah setelah ini tidak ada lagi orang yang mengetahui tentangku. Dalam kisah tersebut kita bisa memahami bahwa sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ingin dikenali oleh manusia, seperti juga kita sering mendengar kisah wali yang lain terkhusus di Indonesia.

Berkenaan perdebatan tentang wali majdub ini saya kira menjadi aneh apabila kita yang meyakini pont 1 beserta point 2 masih tetap tidak meyakini eksistensinya. Golongan b menganggap bahwa majdub disini lebih condong kepada kata 'gila' begitupun kita sebagaian, tidak menjadi suatu masalah apabila kita memahami gila dalam konteks yang tepat. Satu sisi benar jika majdub memiliki arti gila karena seseorang yang tenggelam dalam keasyikan itu akan terlihat seperti gila, sisi lain kita akan salah apabila gila yang kita maksudkan itu seperti orang gila biasa yang pada umumnya, gila karena gangguan psikis atau semacamnya. Ini perbedaan perspektif sederhana yang memiliki dampak berbeda dan berbahaya tentunya, karena perspektif ini melahirkan sikap dari apa yang difahami, bayangkan bila kita memahami majdub dengan arti gila pada umumnya dan kata itu kita sandarkan kepada kata 'wali'.

Beribadah tersembunyi dan dalam keadaan sepi merupakan jalan terbaik dalam beribadah, menhindarkan diri pada penyakit ria dan ingin mendapatkan pujian itu sangat berbahaya. Kesimpulan dari pembahasan ini bahwa;

  • Wali majdzub itu seseorang yang memiliki kecintaan yang luar biasa kepada Allah, memiliki munajat yang tentu berbeda dengan kita dan baginya hanya Allah dan Rosulnya adalah tujuan dirinya hidup.
  • Persoalan wali majdub ini di anggap seperti orang gila itu sah saja selama perspektif 'gila' kita tidak sama dengan 'gila' pada umumnya. Gila dalam artian sikap mencintai Allah dan Rosulnya berbeda dengan kita sebagai manusia biasa, seperti masyarakat umum yang awam seperti saya akan aneh saat pertama kali melihat bahkan mengikuti pengajian atau dzikir di majlis tasawuf, itu karena kita belum memiliki pemahaman tentang hal itu.
  • Wali Allah tidak memiliki kehawatiran dan tidak bersedih hati dalam urusan dunia, jadi perdebatan ini tidak memiliki arti bagi para wali Allah. Kemudian sikap kita terhadap persoalan ini adalah tentang bahwa kita tidak punya hak untuk menilai ibadah seseorang dan kita tidak boleh berprasangka buruk terhadap sesuatu terlebih terhadap wali majdub.
  • Bantahan golongan b mengidentifikasikan mempertanyakan sesuatu yang mengarah pada suatu kemustahilan, sedang tidak ada yang mustahil di dunia ini. Argumentasi yang dilontarkan bahwa tidak mungkin wali berasal dari orang gila yang tidak melakukan solat dan ibadah lainya sama sekali. Ini merupakan argumentasi yang menunjukan bahwa manusia bisa menilai derajat manusia lainya, apakah kita sepakat bahwa manusia bisa menilai derajat manusia lainya ? hanya Allah-lah yang memiliki hak atas derajat manusia. Manusia hanya memiliki hak untuk menjalankan perintah Tuhan-Nya dan berbuat kebaikan dimuka bumi ini.
  • Menghadapi perbedaan, perdebatan, atau hal lainya haruslah kita mendasarkan pada kelogisan universal yang kemudian diperkuat oleh dalil naqli. Mendasarkan pada akal untuk menemukan titik terang mengisyaratkan kita sebagai ummat muslim harus cerdas, agar tidak mudah terhasut oleh pemikiran yang seperti ini (pandangan bahwa wali majdub itu tidak benar, karena majdub di maknai 'gila' pada umumnya bukan 'gila' dengan makna lain). 
  • Fanatik buta atau berlebihan dalam beragama itu berbahaya karena bisa menutup hati kita dari kebenaran, maka haruslah kita tetap menelaah setiap persoalan dengan fikiran dan hati yang terbuka.

Intinya bahwa wali merupakan manusia yang dipilih Allah sebagai kekasihnya, jika boleh dikatakan ada syarat menjadi wali maka tentu paparan dari hadist diatas merupakan syaratnya. Seseorang yang telah melakukan syarat tersebut bisa saja menjadi seorang wali, dan mau bagaimana pun itu semua merupakan kehendak Allah yang termanifestasikan melalui syarat dalam hadist tersebut. 

Wali majdzub beberapa ulama kita mengatakan bukan tempat kita berguru tentang ilmu dan syariat ketika masih ada seseorang wali yang bukan majdzub di dunia ini, maka menjadi suatu kekeliruan apabila kita menjadikan wali majdub ini sebagai hal utama dalam berguru. Bisa dikatakan hal ini ada dan harus kita yakini tanpa tindakan yang berlebihan, seolah kita melewati seseuatu yang lebih utama dalam perkara berilmu dan bersyariat.

Sungguh Allah dan Rosul-Nya lebih mengetahui, kita hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan akal yang Allah karuniakan kepada kita. Dan semoga kita dapat menjadi muslim yang cerdas.

-Salam Literasi-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun