Mohon tunggu...
Sodik Permana
Sodik Permana Mohon Tunggu... Wiraswasta - JnT Cargo

Penikmat filsafat dan penulis pemula yang senantiasa berusaha konsisten dalam belajar sesuatu yang belum terfahami.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Akal Bukan Pembawa Kehancuran

8 September 2022   17:33 Diperbarui: 8 September 2022   23:05 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hasil Akal | sumber : pixabay.com

Dengan rasa syukur menyertai bahwa hari ini tidak sedikit manusia sudah menyadari bahwa dirinya adalah sempurna, ya manusia adalah mahluk sempurna. Sederhananya, dikatakan sempurna karena manusia di-karunia-i akal oleh Sang Pencipta, letak sempurna jika karunia itu digunakan yang kemudian kita sebut berakal. Sudah bukan hal sulit kita temui literasi yang berkaitan dengan pembahasan akal, namun masih ada beberapa orang memiliki perspektif keliru mengenai hal ini (akal). Menanggapi tentang kesalah-fahaman tentang bahwa akal manusia bisa membawa kehancuran ketika tidak digunakan dengan baik sesuai nilai kemanusiaan dan ketika tidak dibarengi dengan hati (iman). Dalam hal ini seperti yang dikatakan oleh Mulla Sadra bahwa akal harus disertai hati untuk menciptakan dampak yang baik. kesalah-fahaman yang dimaksud adalah ketika kita memberikan penilaian yang buruk terhadap akal itu sendiri, seuatu hal tercipta oleh manusia yang menurut sebagian orang melewati batas kewajaran bahkan menyebabkan penderitaan atau kehancuran seperti terciptanya bom atom, matahari buatan, nuklir dan lainnya, dalam perspektif agama ?

Dalam sejarah peradaban manusia, pemikiran terus berkembang sejatinya untuk menemukan eksistensi dan substansi kebenaran itu sendiri dengan proses tahapan yang berbeda disetiap zaman. Katakanlah dalam sejarah awal pemikiran yang berkembang pada era yunani kuno yang kita kenal dengan sosok Herakleitos, Thales, Anaximenes, Anaximandros sampai pada Aristoteles itu memiliki perkembangan pemikiran berbeda yang sesuai dengan keadaan manusia kala itu. Jika kita cermati bahwa setiap pemikiran yang berkembang mengarah pada eksistensi dan substansi kebeneran tentang Tuhan-Manusia-Alam Semesta. Sejak ahir era hellenisme sampai awal renainsans sudah terlihat sedikit demi sedikit perkembangan pemikiran dengan arah yang lebih jelas dan kental dengan Astronomi, kemudian masuk pada awal zaman modern lebih berkembang astronomi kepada yang lebih spesifik seperti fisika, kimia, al-jabar dan lainya tapi tidak meninggalkan landasan utamanya yaitu tentang Tuhan-Manusia-Alam semesta sebagai tujuan berkembangnya ilmu untuk mendapati eksistensi dan substansi darinya. Yang kemudian muncul klasifikasi pemikiran dari keseluruhan yaitu Rasionalisme, Empirisme, Kriticisme, Idealisme, Positivisme, dan lainya sebagai kerangka berfikir atau word view. 

Perkembangan pemikiran tersebut menunjukan bahwa manusia berakal memberikan dampak yang sebagaimana kita lihat untuk menemukan tujuan itu. Tidak luput dalam sejarah dikatakan perhelatan tersebut semakin nampak ketika bertemunya pemikiran filsafat dan agama dalam ruang yang sama. Tidak bisa kita hindari hal ini karena kita fahami ada suatu kesepakatan bahwa pembasahan tuhan, manusia dan alam semesta menjadi bagian dari agama, terlebih lokus ke-tuhan-an sangat kental dengan agama.

Sejatinya pemikiran mengarahkan manusia kepada kebenaran, yang arah selanjutnya adalah kebaikan 

Akal dalam Agama, Lahir nilai kebaikan dan keburukan

Bukan hal lumrah berbicara akal dalam agama, meski ada sebagian orang yang mengesampingkan persoalan akal dan ada yang bersikukuh menempatkan akal sebagaimana mestinya ketika beragama. Keduanya saya kira sah-sah saja dan itu bukan menjadi persoalan, karena menurut saya ketika dan selama kita berfikir maka disitulah kita sedang memanfaatkan salahh-satu karunia Tuhan yaitu akal. Singkatnya kehadiran agama sebagai kendali atas pemikiran yang dipergunakan sebagaimana adanya manusia hidup untuk saling memanusiakan, kita bersyukur atas hal ini karena tujuan utama pemikiran dalam sejarah tersebut lebih terarah. Menempatkan akal dengan agama secara bersama menciptakan suatu tatanan nilai baik dan buruk, meski kita juga mengetahui bahwa ini merupakan Aksiologi dalam pandangan filsafat. Agar terhindar dari kesalah-fahaman maka kita nisbatkan nilai baik dan  buruk di agama lebih spesifik sebagai motivasi tambahan dalam perbuatan manusia, sedang aksiologi hanya konsepsi umum. 

Definisi Akal dalam fungsinya, Sesuatu yang bebas Nilai ?

Saya memahami bahwa akal adalah sesuatu yang dengannya kita memahami sesuatu sebagai sesuatu, sederhanya kita bisa fahami bahwa akal itu merupakan alam fahaman dimana kita memahami tentang sesuatu maka kita berada dialam fahaman. Bisa kita katakan bahwa akal adalah sesuatu Immateri tidak murni, yang hanya berdefinisi tetapi bukan seperti immateri murni yaitu Tuhan, karena meskipun hanya berdifinisi tapi kita yakini bahwa akal itu diciptakan atau keberadaannya tidak bisa mendahului keberadaan Tuhan, yang juga kemudian kita yakini kata dahulu-mendahului tidak berlaku pada Tuhan. 

Dalam fungsinya akal sering kita sandarkan pada fikiran manusia, terutama sebagai alat materinya yaitu otak kita, sebagaimana yang kita ketahui dan kita sepakati bahwa otak merupakan sesuatu yang Taqwini atau ketetapan Tuhan yang bebas nilai, artinya tergantung kita dalam menggunakannya. Maka akal dalam fungsinya adalah sesuatu yang bebas nilai kemudian bernilai atas dasar sebagaimana kita nisbatkan akal ini di dunia realitas.  Jika kita telaah, fungsi akal hanya bisa kita ketahui ketika kita berfikir, itulah landasan Cogito ergo sum-nya Rene Descartes. Pengetahuan kita tentang astronomi, mekanika kuantum, kimia dan disiplin ilmu lainya itu merupakan hasil dari fungsi akal.

Akal adalah sesuatu yang tidak bisa kita sandarkan hal buruk kepadanya

Tuduhan Akal atas pembawa kehancuran, penyalah-gunaan hasil akal ?

Bom atom, nuklir dan senjata lainya tentu berbahaya dan bisa menimbulkan kehancuran bagi ummat manusia, jika kemudian kita menempatkan bahwa akal sebagai pembawa kehancuran saya kira suatu kekeliruan. Dalam filsafat teologi atau agama kita temukan bahwa manusia terdiri dari beberapa unsur selain unsur kimiawi, pembahasan tingkatan manusia dari bahsyar sampai insan adalah sebagai gejolak pertempuran internal manusia antara nafsu dan hati. Sederhanya bahwa hasil dari akal seperti ilmu pengetahuan dan disiplin ilmu lainya yang kemudian digunakan oleh manusia itu adalah hasil pertempuran hati dan nafsu dalam diri manusia itu sendiri, yang kemudian berahir pada hal-hal mengerikan. Jelas disini bukanlah akal yang membawa kehancuran melainkan nafsu manusia-lah sebagai pelaku utama, tentu hal ini kita kategorikan sebagai kezaliman terhadap manusia yang mana kezaliman bukan sesuatu yang Tuhan kehendaki. Ini sebagai Tasyri'i atau ketetapan Tuhan yang didalamnya Tuhan berikan manusia untuk memilihnya, dengan arti bahwa ketika manusia menggunakan hasil akal atas sesuatu yang dapat melukai bahkan membinasakan manusia lainya itu merupakan kendali nafsu atas dirinya, yang secara bersamaan muncul penilaian atas perbuatannya yang sering kita sebut 'dosa'.

Adalah nafsu yang mengotori akal, jika nafsu itu telah mendapat bisikan jahat (dari golongan jin dan manusia)

Pada dasarnya akal itu sesuatu yang murni, tidak bisa kita nisbatkan kepada hal-hal buruk karena denganya kita memahami siapa kita?, dan mau kemana kita?. Maka haruslah kita cerdas dalam hal ini untuk tidak memberikan tuduhan yang tidak logis serta mengharuskan kita dapat mengendalikan nafsu, cerdaslah dalam beragama dan beragamalah agar kecerdasan itu terarah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun