Perusahaan seperti Unilever, Toyota, BSI, Pertamina, dan Telkom menunjukkan bahwa akuntansi bisa menjadi sarana komunikasi moral dan sosial, bukan hanya sarana finansial.
Pendekatan hermeneutik membantu perusahaan untuk:
1. Melihat laporan keuangan sebagai narasi nilai, bukan hanya tabel angka.
2. Membangun hubungan dialogis dengan masyarakat, bukan sekadar pelaporan formal.
3. Menggabungkan efisiensi ekonomi dengan empati sosial dan tanggung jawab moral.
Dengan cara ini, akuntansi tidak lagi menjadi bahasa dingin dari sistem kapitalisme, melainkan bahasa hangat dari kehidupan manusia.
Kesimpulan
Pendekatan hermeneutik Wilhelm Dilthey memberikan fondasi filosofis yang mendalam bagi pengembangan teori akuntansi modern. Ia mengajarkan bahwa akuntansi bukan hanya alat teknis untuk mencatat transaksi, melainkan cara manusia mengekspresikan makna dan nilai kehidupan ekonominya.
Melalui hermeneutika, akuntansi dipahami sebagai ilmu kemanusiaan yang berusaha memahami, bukan sekadar menjelaskan. Laporan keuangan bukan lagi dilihat sebagai data mati, tetapi sebagai teks kehidupan yang menuturkan cerita tentang tanggung jawab, moralitas, dan nilai sosial. Pengetahuan akuntansi memperoleh legitimasi bukan dari generalisasi empiris, tetapi dari kedalaman pemahaman dan koherensi makna yang dihasilkannya.
Pendekatan ini juga menumbuhkan kesadaran etis dalam praktik akuntansi. Akuntan dan auditor dituntut untuk tidak hanya berpikir secara teknis, tetapi juga reflektif dan empatik. Mereka harus menyadari bahwa setiap angka memiliki makna moral dan berdampak pada kehidupan manusia.
Dengan demikian, teori akuntansi hermeneutik berdasarkan pemikiran Dilthey mengembalikan ilmu akuntansi kepada hakikat kemanusiaannya. Ia memadukan pengetahuan, nilai, dan moralitas dalam satu kesatuan yang utuh. Akuntansi menjadi bahasa kehidupan yang menuturkan keseimbangan antara manusia, masyarakat, dan tanggung jawab moralnya.