Mohon tunggu...
Siti Nurhasanah
Siti Nurhasanah Mohon Tunggu... Akuntan - Ana

"Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari." ― Pramoedya Ananta Toer

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku, Nelangsa, dan Rasa: "Perkenalan"

16 Februari 2022   21:40 Diperbarui: 16 Februari 2022   21:40 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku memeluk tubuhku erat. Angin malam mulai masuk melalui celah-celah jaketku. Sedingin inikah angin malam di awal bulan Januari? Aku melihat jam di pergelangan tanganku, mulai mempercepat langkah kakiku karena ia telah menunjukkan pukul 11 malam. Sebenarnya aku sangat menyukai malam. Berjalan di bawah langit-langit bertabur bintang, bersamaan dengan angin malam yang menerpa tubuhku, dan aku menyukai heningnya malam. Tapi percuma saja untuk saat ini. Membayangkan tatapan Ayah yang sudah lebih tajam dari biasanya ketika aku sampai di rumah saja pastinya sangat menyebalkan.

Jakarta masih ramai. Namun, sudah sedikit lebih gelap dari biasanya. Beberapa pedagang di pinggir jalan pun mulai mengemas barang dagangannya. Anak-anak jalanan mulai menggelar tikar di emperan jalan raya untuk mengistirahatkan badannya. Aku melangkahkan kakiku ke halte dipinggir jalan. Menunggu apakah masih ada bus yang lewat walau sudah larut begini. Jika tidak, berarti itu sebuah pertanda bahwa aku harus berjalan lagi atau naik taksi dengan pengukuran argometernya yang menguras seisi dompetku.

Aku sebenarnya tidak suka pulang. Aku tidak menyukai rumah, di mana Ayah hanya akan berteriak jika aku melakukan kesalahan kecil, lalu setelahnya aku akan merasakan gemetar seluruh tubuh dan tidak pernah bisa menjawabnya. Bodoh. Kemudian aku akan disudutkan, untuk sekian banyaknya kesialan yang kuperbuat. Ya, begitulah diriku. Ada beberapa hal sial sampai aku harus selalu disudutkan, dan ada beberapa hal menyenangkan yang kemudian akan dibesar-besarkan oleh ibu yang sebenarnya hal itu tidak perlu dilakukan. Membosankan.

"Mbak, mau kemana malam-malam begini? Mari saya antar. Tenang saja, sampai depan rumah, kok," ucap lelaki yang sepertinya lebih tua beberapa tahun dariku dengan motor tuanya, tak lupa ia juga mengedipkan matanya dengan genit. 

"Nggak usah, Mas. Terimakasih. Saya dijemput, kok," jawabku asal. 

Padahal tidak tahu juga siapa yang akan menjemputku. Oh, ralat. Tidak ada, maksudku. Aku menjawabnya asal karena hanya takut. Takut ia memiliki niat jahat kepadaku. Bukannya kebanyakan berprasangka buruk, tapi belakangan ini rekan kerjaku sering menceritakan kejadian tidak mengenakan di daerah sini. Lelaki itu langsung tancap gas dengan decakannya. Aku juga heran mengapa jadi dia yang berdecak kesal.

Sepertinya bis kota sudah tidak menerima penumpang lagi. Aku pun terpaksa menghentikan taksi yang berlalulalang di depanku. Huftt.... 

***

"Assala...,"

BRAK!!! 

"Dari mana saja kamu, hah? Jam segini baru pulang? Kerja atau ngelonte kamu?" tanya Ayah, selalu dengan nada tingginya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun