Mohon tunggu...
Nurman Samehuni Gea
Nurman Samehuni Gea Mohon Tunggu... Sebagai Mahasiswa di universitas Nias dan penulis blog

Hobi : Menulis, Membaca, Bersepeda, berlari

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Koperasi Merah Putih: Cat Warna Baru untuk Kebiasaan Lama

28 April 2025   13:59 Diperbarui: 28 April 2025   13:59 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Katanya, pemerintah pusat mau "membangkitkan ekonomi desa" lewat Koperasi Merah Putih. Judulnya gagah. Benderanya patriotik. Slogannya penuh semangat rakyat. Tapi maaf, saya tidak membeli mimpi itu begitu saja.

Saya sudah terlalu sering melihat: setiap program yang dikemas indah, seringkali hanya melahirkan dua hal, proyek mercusuar dan korupsi berjamaah. Dan kini, seolah belum cukup puas mengacak-acak dana desa, datanglah Koperasi Merah Putih dengan senyum manis dan janji-janji plastiknya.

Kita pura-pura tidak tahu, ya? Bahwa setiap ada aliran dana besar ke desa, yang pertama mengendus bukan rakyat kecil, melainkan para calo, oknum, dan birokrat lapar. Bahwa desa, tempat orang-orang sederhana bertahan hidup, justru dijadikan sapi perah dengan dalih "pemberdayaan ekonomi."

Coba lihat sejarah yang baru-baru ini saja: berapa banyak kepala desa yang masuk penjara karena korupsi dana desa? Berapa banyak proyek fiktif yang ditulis manis dalam laporan, tapi di lapangan hanya menyisakan tiang-tiang karatan dan bangunan setengah jadi?

Sekarang, dengan bendera merah putih di tangan, mereka datang lagi. Membawa koperasi yang katanya untuk rakyat. Tapi saya bertanya-tanya, koperasi ini untuk rakyat atau untuk elite lokal baru? Untuk mengangkat ekonomi atau sekadar menggembungkan rekening pribadi?

Kalau tidak ada sistem transparan, koperasi ini hanya akan jadi cat warna baru untuk kebiasaan lama. Warna boleh merah putih, tapi isinya tetap kelabu.

Saya bosan mendengar janji demi janji sementara desa-desa kita tetap berjalan di tempat, atau malah terseret lebih dalam ke jurang ketimpangan. Saya muak melihat betapa mudahnya jargon-jargon suci dijadikan selimut untuk menutupi kerakusan.

Maka, izinkan saya berdiri di pihak yang tidak mudah terpukau. Karena cinta tanah air bukan soal ikut mengiyakan semua yang berlabel "merah putih", tapi soal menjaga agar warna itu tidak luntur oleh noda korupsi.

Kalau desa-desa kembali dibohongi, itu bukan karena kita tidak tahu. Tapi karena kita membiarkan diri kita percaya, sekali lagi, pada dongeng yang sudah basi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun