Ajakan Presiden Prabowo Subianto kepada masyarakat untuk menanam lima pot cabai guna menekan harga pasar menuai beragam tanggapan. Di satu sisi, inisiatif tersebut patut diapresiasi sebagai upaya membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya ketahanan pangan. Namun, di sisi lain, ajakan tersebut juga memperlihatkan ironi, bahwa masalah pangan nasional yang kompleks seolah-olah diserahkan kepada rakyat untuk diselesaikan secara individu.
Harga cabai yang berfluktuasi tajam bukanlah persoalan kecil yang dapat diselesaikan di pekarangan rumah. Ini adalah masalah struktural yang mencerminkan lemahnya sistem produksi, distribusi, dan perlindungan terhadap petani.
Negara, sebagai pemegang mandat kesejahteraan rakyat, harus hadir melalui kebijakan yang terukur dan terstruktur. Di tingkat pusat, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah strategis.
Pertama, pembangunan infrastruktur pertanian modern: irigasi presisi, pusat penyimpanan hasil panen (cold storage), dan jaringan distribusi berbasis teknologi untuk mengurangi kerugian pascapanen.
Kedua, reformasi data pangan nasional dengan sistem digitalisasi produksi dan konsumsi pangan secara real-time, agar intervensi pasar dapat dilakukan dengan cepat dan tepat.
Ketiga, pendirian Badan Distribusi Nasional untuk memotong mata rantai distribusi yang panjang dan mengurangi dominasi tengkulak, sehingga harga di tingkat konsumen dan petani lebih adil.
Keempat, pemberian insentif kepada petani untuk beralih ke pertanian berkelanjutan, seperti pupuk organik, sistem pertanian terpadu, dan teknologi pertanian cerdas (smart farming).
Di sisi lain, pemerintah provinsi harus menyusun Masterplan Pangan Daerah berbasis potensi lokal. Pemerintah kabupaten dan kota perlu membangun pasar induk modern serta memperkuat koperasi digital yang dimiliki dan dikelola oleh petani. Di tingkat kecamatan dan desa, penguatan balai penyuluhan berbasis teknologi serta lumbung pangan desa harus menjadi prioritas.
Dengan demikian, penyelesaian masalah harga pangan tidak hanya bergantung pada semangat individual, melainkan pada kerja kolektif berbasis sistem yang kuat.
Selama ini, petani sering menjadi korban pertama dalam setiap gejolak harga. Ketika harga anjlok, mereka rugi. Ketika harga melambung, mereka tidak selalu menikmati hasilnya karena dominasi tengkulak dan biaya produksi yang tinggi.