Mohon tunggu...
SLAM Indonesia
SLAM Indonesia Mohon Tunggu... Penulis - Media Anak Muda

SLAM kepanjangan dari Suara Laras Anak Muda. Membawa suara dan narasi skena-skena anak muda di Indonesia dan cerita sejarah republik. Melalui medium tulisan dan audio (podcast). Dengan harapan melahirkan 'ruang diskusi' untuk anak muda. Kunjungi podcast kami di Spotify (SLAM Indonesia) spotify:show:2umh8SLetO9aUtkGIfKFGL

Selanjutnya

Tutup

Seni

Jauh Panggang dari Api

16 Juni 2023   18:55 Diperbarui: 19 Juni 2023   14:24 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bersumber Rijal Tanmenan

JAUH PANGGANG DARI API

DILEMA CITA RASA DI TENGAH ANOMALI SENI-BERKESENIAN

TENTUNYA bukan ide buruk menghayati imajinasi yang seiring sejalan dengan praktik analisis-kritis secara bersamaan. Tentang anggapan bahwa kini orang-orang telah penuh gairah menyambut geliat seni-berkesenian --jika terlalu enggan menyebutnya ekosistem---, yang semata dipandang dalam hitungan jumlah festival atau perhelatan seni saja.

Justru hal yang demikian turut mengisyaratkan 'jalan buntu' bagi kualifikasi cita rasa seni-berkesenian. Bagaimana akan tidak? Keseimbangan adalah implikasi dari seni-berkesenian. Dan oleh sebab itu, agar supaya tidak berlarut-larut mengkompromikan hal yang ideal berubah menjadi bias (atau absurd), maka diperlukan persepsi relevan yang evaluatif.

Harusnya para pelaku seni beserta karya seninya adalah sasaran kritik. Bukan bully-an, hujatan, ataupun cercaan, apalagi penghakiman. Namun sejumlah mereka itu terpikat untuk berpindah dari kontestasi intelektualitas (gagasan dan kedalaman berpikir) ke popularitas (edar-tenar).


Melalui metode meng-introduksi diri yang semakin masif, dengan gimmick-gimmick konten acara jauh lebih menarik daripada substansi, dan lain-lain. Umumnya orang bisa lebih menyukai itu daripada inti pikiran maupun gagasan kekaryaan.

Belum lagi ditambah dengan poin semakin gencarnya sejumlah wadah, lembaga, dan ruang-ruang yang semula memosisikan diri sebagai titik simpul pelaku kreatif bagi pertautan ragam aktifitas yang seharusnya memfasilitasi 'gagasan kreatif' (intelektualitas/ intelegensia), akan tetapi justru telah memainkan nada anti-kritisisme yang bising sekali --kalau bukan berebut akses juga peran dan pengaruh.

Sampai di titik ini, seni-berkesenian mengemban anomali dan dilema cita rasa pada dirinya. Yang berjalan bukan dengan ikhtiar akal berlandaskan rasionalitas, melainkan secara kultural dikemudikan oleh emosionalitas (mood atau kesementaraan). Sehingga 'kosa-pikir' ketika tidak efektif bekerja, maka tatanan ranah seni-berkesenian menjadi samar, buram, dan kabur.

Bahwa anomali itu pada satu sisi bicara tentang ide-ide besar dan hebat perihal seni-berkesenian, ikhwal kesejajaran ataupun keterbukaan, dan lain sebagainya. Tapi di sisi lain, memuat peristiwa yang sangat 'porno' dan kasar, yaitu mengabaikan gagasan atau aspek pikiran (intelegensia dan intelektualitas).

Tapi kadang kala, antara ide-ide besar dan hebat itu tidak bersua hubungannya satu sama lain. Apalagi jika di tengahnya dipenuhi dengan rangkaian emosionalitas yang dinaik-turunkan secara berulang-ulang. Sehingga tidak pernah meneruskan satu dialog. Karena yang berlangsung bukan proses seni-berkesenian yang berkesinambungan, melainkan ke-sesaat-an (kesementaraan).

Artinya, ketimpangan dan penyimpangan yang dipicu alur ego-sistem ini, merekayasa realitas yang kemudian dipelintir menjadi pemakluman. Sehingga orang-orang diam dalam rasa cemas disalah mengerti, kalau tidak dicap serupa 'polisi skena'. Akibatnya 'pembiaran' itu menyelinap kasar masuk di bagian prinsipil.

Padahal analisis-kritis (sisi telaah pikir) dalam rangka persahabatan (friendly), dalam upaya pembacaan evaluatif, dalam kesadaran penuh penghormatan, dalam perhatian dan tanggungjawab, dalam mencita ranah seni-berkesenian yang kondusif dan bermarwah, tentu menjadi imunitas dan suplemen yang sangat dibutuhkan.

Maka secara kolektif (orientasi bersama) sudah seharusnya ada kalangan sadar yang fokus dan serius untuk memitigasi dilema seni-berkesenian bahwa cita rasa tentang penyimpangan itu sudah terlalu permisif. Sehingga diperparah oleh dampak tidak lagi ada yang menggugah abstraksi, tidak lagi ada yang menggerakkan reaksi, tidak lagi ada yang mencetus impuls kreatif.

Karena, apabila kerap memaklumi sikap selalu menggeser kata 'harus' ke semestinya/ sebaiknya/ seyogyanya/ dan lain-lain, maka jarak menjangkau yang ideal semakin jauh merenggang, yang tak pernah kunjung menapak sampai (next quadran), yang sama dengan 'jauh panggang dari api'. Maka, wajar saja pihak eksternal membaca bahwa sejumlah pelaku menutup mata tentang ide utuh seni-berkesenian itu sendiri. [*]

Padang, 14 Juni 2023

Rijal Tanmenan

Etnomusikologi | Pemberdaya Seni | Penabuh Multi-set Perkusi

IG: @rijaltanmenan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun