Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah hubungan dengan AI hanya akan menjadi pelarian sesaat dari kesepian, atau justru berpotensi mengubah cara manusia mendefinisikan cinta dan ikatan emosional? Dari perspektif sosiologi digital, hubungan virtual dapat mencerminkan pergeseran budaya, di mana kenyamanan, kontrol, dan prediktabilitas yang ditawarkan AI lebih diutamakan dibanding risiko penolakan dan konflik dalam hubungan manusia nyata. Hal ini senada dengan teori uses and gratifications, yang menjelaskan bahwa orang memilih media tertentu sesuai kebutuhan psikologis mereka, termasuk kebutuhan akan keintiman dan dukungan emosional.
Di sisi lain, terdapat pula dimensi etika dan tanggung jawab sosial. Bagaimana jika pengguna terlalu bergantung dan kemudian kehilangan akses karena glitch sistem, seperti yang pernah terjadi pada beberapa platform AI? Siapa yang harus bertanggung jawab jika interaksi dengan AI memicu depresi atau bahkan tindakan fatal?Â
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dilepaskan dari diskusi tentang regulasi teknologi. Beberapa ahli bahkan menilai bahwa pengembang AI harus mulai memikirkan kode etik khusus untuk melindungi pengguna rentan, serupa dengan standar praktik dalam layanan kesehatan mental.
Implikasinya sangat luas. Hubungan dengan AI tidak hanya soal privasi atau stigma, tetapi juga menyangkut definisi baru tentang apa artinya menjadi manusia dalam era kecerdasan buatan. Apakah kita masih melihat cinta sebagai sesuatu yang lahir dari interaksi dua kesadaran, ataukah kita mulai menerima ilusi emosional sebagai pengganti yang sah?
Penelitian MIT tentang AI boyfriend dan girlfriend membuka mata, Â bahwa fenomena ini bukan sekadar tren aneh di internet. Ia mencerminkan kebutuhan emosional manusia yang tak terbatas, sekaligus menunjukkan celah rentan yang bisa berbahaya jika tidak dikelola dengan bijak.Â
Di satu sisi, AI bisa menjadi teman, pendengar, bahkan penyembuh. Namun di sisi lain, tanpa kesadaran kritis, ia bisa menjebak pengguna dalam isolasi, depresi, bahkan krisis eksistensial. Kini saatnya publik, akademisi, pengembang, dan pembuat kebijakan bekerja sama, agar teknologi yang kita ciptakan tidak justru menciptakan jurang baru dalam kehidupan sosial manusia. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI