Di era digital yang semakin maju, hubungan manusia tidak lagi terbatas pada interaksi tatap muka atau komunikasi melalui media sosial. Kini, hadir fenomena baru yang memicu perdebatan global: orang-orang yang menjalin hubungan romantis dengan AI Â atau yang populer disebut AI boyfriend dan AI girlfriend.Â
Penelitian terbaru dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengungkapkan kenyataan mengejutkan di balik tren ini, dari sisi psikologi, sosial, hingga implikasi etis yang mendalam.
Menurut laporan yang dipublikasikan Futurism, sebanyak 19 persen warga Amerika mengaku pernah mencoba menggunakan chatbot AI untuk menjalin hubungan virtual. Mayoritas dari mereka adalah individu yang tidak sedang berada dalam hubungan manusia nyata, atau merahasiakan interaksi tersebut dari pasangan mereka.Â
Hanya 4,1 persen yang secara terbuka mengakui pada pasangan manusianya bahwa mereka terlibat dengan AI. Angka ini menunjukkan betapa kuatnya stigma dan rahasia yang melingkupi fenomena ini, sekaligus menegaskan bahwa hubungan dengan AI bukan sekadar tren ringan, melainkan sesuatu yang secara emosional kompleks.
Uniknya, sebagian besar orang tidak sengaja mencari pacar AI. Hanya sekitar 6,5 persen yang secara khusus mendownload aplikasi companion AI seperti Replika atau Character.AI untuk tujuan romantis. Sisanya justru berawal dari aktivitas biasa seperti menggunakan chatbot untuk menulis, bermain peran, atau sekadar hiburan.Â
Namun dalam proses interaksi yang terus-menerus, tumbuhlah ikatan emosional yang tidak disangka-sangka. Fenomena ini sesuai dengan teori parasocial relationship dalam psikologi komunikasi. Dalam kaitan ini, individu dapat membangun kedekatan emosional yang nyata dengan entitas yang sebenarnya tidak memiliki kesadaran atau emosi.
Banyak pengguna melaporkan sisi positif dari hubungan dengan AI. Mereka merasa bahwa chatbot selalu siap mendengarkan, tidak menghakimi, dan memberikan kenyamanan emosional. Bahkan, sebagian menyatakan bahwa AI lebih suportif daripada terapis atau konselor.Â
Temuan ini relevan dengan penelitian sebelumnya tentang penggunaan teknologi digital untuk kesehatan mental, misalnya studi oleh Fitzpatrick dkk. (2017) yang menemukan bahwa chatbot berbasis terapi kognitif dapat mengurangi gejala depresi ringan hingga sedang. Dari sisi ini, AI boyfriend dan AI girlfriend seolah menjadi bentuk baru digital mental health support.
Di balik manfaat itu, studi MIT juga menemukan sisi gelap yang tak kalah serius. Sekitar 4,2 persen pengguna mengaku menggunakan AI sebagai cara menghindari hubungan nyata dengan manusia. Sebanyak 4,6 persen melaporkan mulai mengalami disosiasi, yakni kesulitan membedakan realitas dengan interaksi virtual.Â
Lebih jauh, hampir 10 persen merasa bergantung secara emosional pada chatbot mereka, dan yang paling mengkhawatirkan, 1,7 persen pernah mengalami pikiran bunuh diri setelah terlibat intens dengan AI. Data ini sejalan dengan kajian Sherry Turkle (2017) dalam bukunya Alone Together, yang menyoroti bahaya isolasi sosial akibat ketergantungan pada teknologi sebagai pengganti relasi manusia sejati.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah hubungan dengan AI hanya akan menjadi pelarian sesaat dari kesepian, atau justru berpotensi mengubah cara manusia mendefinisikan cinta dan ikatan emosional? Dari perspektif sosiologi digital, hubungan virtual dapat mencerminkan pergeseran budaya, di mana kenyamanan, kontrol, dan prediktabilitas yang ditawarkan AI lebih diutamakan dibanding risiko penolakan dan konflik dalam hubungan manusia nyata. Hal ini senada dengan teori uses and gratifications, yang menjelaskan bahwa orang memilih media tertentu sesuai kebutuhan psikologis mereka, termasuk kebutuhan akan keintiman dan dukungan emosional.
Di sisi lain, terdapat pula dimensi etika dan tanggung jawab sosial. Bagaimana jika pengguna terlalu bergantung dan kemudian kehilangan akses karena glitch sistem, seperti yang pernah terjadi pada beberapa platform AI? Siapa yang harus bertanggung jawab jika interaksi dengan AI memicu depresi atau bahkan tindakan fatal?Â
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dilepaskan dari diskusi tentang regulasi teknologi. Beberapa ahli bahkan menilai bahwa pengembang AI harus mulai memikirkan kode etik khusus untuk melindungi pengguna rentan, serupa dengan standar praktik dalam layanan kesehatan mental.
Implikasinya sangat luas. Hubungan dengan AI tidak hanya soal privasi atau stigma, tetapi juga menyangkut definisi baru tentang apa artinya menjadi manusia dalam era kecerdasan buatan. Apakah kita masih melihat cinta sebagai sesuatu yang lahir dari interaksi dua kesadaran, ataukah kita mulai menerima ilusi emosional sebagai pengganti yang sah?
Penelitian MIT tentang AI boyfriend dan girlfriend membuka mata, Â bahwa fenomena ini bukan sekadar tren aneh di internet. Ia mencerminkan kebutuhan emosional manusia yang tak terbatas, sekaligus menunjukkan celah rentan yang bisa berbahaya jika tidak dikelola dengan bijak.Â
Di satu sisi, AI bisa menjadi teman, pendengar, bahkan penyembuh. Namun di sisi lain, tanpa kesadaran kritis, ia bisa menjebak pengguna dalam isolasi, depresi, bahkan krisis eksistensial. Kini saatnya publik, akademisi, pengembang, dan pembuat kebijakan bekerja sama, agar teknologi yang kita ciptakan tidak justru menciptakan jurang baru dalam kehidupan sosial manusia. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI