Gelombang baru dalam dunia perfilman India sedang terjadi. Kali ini bukan sekadar kisah cinta Bollywood atau drama penuh warna, melainkan kebangkitan mitologi kuno dengan bantuan teknologi canggih. Tokoh Hanuman yang di Indonesia disebut Hanoman atau Anoman, sosok dewa kera yang dikenal karena keberanian, kesetiaan, dan kekuatan luar biasanya, kini hadir dalam versi digital yang diciptakan dengan AI (akal-akalan Imitasi).Â
Kehadiran trailer AI yang menampilkan kisah Hanuman segera mencuri perhatian publik, membuktikan bahwa pertemuan antara epik mitologi dan teknologi sinematik bisa menghasilkan karya yang mengguncang imajinasi.
Dalam salah satu video yang viral, Hanuman ditampilkan membakar kota Lanka, sebuah adegan legendaris dalam Ramayana, dengan sentuhan visual futuristik yang sangat berbeda dari film-film tradisional. Adegan itu bukan hasil CGI studio besar, melainkan karya AI generatif yang mampu menghasilkan gambar dan animasi menyerupai kualitas sinema.Â
Kehadiran karya ini seolah membuktikan bahwa film India kini sedang bergerak menuju babak baru di mana batas antara tradisi dan inovasi semakin tipis.
Penggunaan AI dalam dunia sinema sebenarnya bukan hal baru. Sutradara Prasanth Varma, lewat film Hanu-Man, bahkan memanfaatkan ChatGPT dan MidJourney untuk merancang poster, konsep karakter, dan materi promosi. Menurut laporan Times of India (2024), pendekatan ini membuat strategi pemasaran film lebih cepat, hemat biaya, sekaligus memberikan kesan segar kepada penonton muda yang akrab dengan dunia digital. Dengan demikian, AI tidak hanya menjadi alat visual, tetapi juga mitra kreatif dalam proses produksi.
Fenomena ini tidak hanya terbatas pada Hanuman. Beberapa bulan terakhir, dunia maya juga dihebohkan dengan trailer Mahabharata buatan AI, di mana karakter Arjuna dan Krishna diperankan secara imajinatif oleh aktor Hollywood seperti Chris Hemsworth dan Chris Evans. Menurut , Â karya itu viral di media sosial, memicu diskusi global tentang kemungkinan kolaborasi lintas budaya yang difasilitasi teknologi.Â
Selain itu, studio Cinefai di Mumbai merilis adaptasi Ramayana dengan teknologi AI generatif, yang disebut Economic Times sebagai bukti betapa besar minat publik terhadap mitologi India ketika dibalut dengan imajinasi futuristik. Namun, di balik euforia tersebut, muncul pula perdebatan tentang batas etika.Â
Kasus paling kontroversial muncul ketika sebuah perusahaan memodifikasi film Raanjhanaa dengan menggunakan AI untuk mengubah ending tragis menjadi versi "happy ending" tanpa izin dari sutradara asli. Sutradara Aanand L. Rai dan aktor Dhanush mengecam langkah itu, menyebutnya sebagai pengkhianatan terhadap jiwa film.Â
The Guardian menulis bahwa kasus ini memperlihatkan sisi gelap AI dalam industri kreatif---bahwa teknologi yang seharusnya menjadi alat inovasi bisa berubah menjadi instrumen komersialisasi yang merusak visi pencipta.
Di satu sisi, penggunaan AI dalam film Hanuman menjadi bukti bahwa teknologi dapat memperluas cakrawala bercerita, menghidupkan kembali legenda dengan cara yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Penonton generasi muda dapat merasakan keajaiban kisah klasik melalui visual modern. Sementara generasi yang lebih tua bisa melihat ulang mitologi kesayangan mereka dengan nuansa berbeda. Di sisi lain, kontroversi seperti Raanjhanaa menegaskan perlunya aturan, kesadaran etis, dan penghargaan terhadap hak cipta.