Syahwat birahimu turunkan ya nak, lebih baik santun dunia kan benderang. Masih seluas samudera dan sebiru langit peluang untukmu. Saat kebanyakkan mereka berjamaah atasi pandemi kau seolah tak empati. Waktumu malah digunakan berlari sekencang kuda sembrani. Kaca mata kudanya kau yang pakai demi wujudkan ambisi. Pesan luhur, jangan lupakan arifnya perilaku ketimuran yang telah menyarungi jiwamu kenali peradaban.
Hingga kau tumbuh gagah jadi ksatria wibawa dan perwira. Kenapa seketika luntur bagai es krim kehilangan coklat, dan mencair watak manis dan humanis itu. Coba duduklah dan sejenak merenung. Benarkah para pencitamu itu tulus. Kuatirnya hanya numpang kesuburan dari pupuk potensimu. Mereka yang mampu memekarkan bunga-bunga di kebunnya, tapi kau terlorot energi dan layu sebelum masa panen.
Sungguh tak sedikit yang menyesalkan tindak tanduk dan keputusanmu itu. Kebanyakan yang terlahir dari rahim sama denganmu. Mereka mengerti dan paham dan tetap junjung tinggi etika dan budaya luhung. Termasuk aku anak kaki langit, tak merasakan kesegaran darimu di lembah. Padahal kau satu dari sejuta bunga yang berhasil mekar dengan keharumannya ke langit nusantara. Â Â
Yakinlah selagi di langit masih banyak mega bergumul jangan kuatirkan kering hujan. Siklus musim tak pernah loncat jauh dari orbit. Sepanjang para kaum berselera dan tak umpat kata-kata nira lupakan aren, pesonamu takkan padam di ngarai ini. Bersimpuhlah lagi dan tembangkan kidung-kidung tradisi nan ramah. Kenyam lagi butir-butir ayat penguat, maka makin teguh tali kendali akan kesusilaan.
Hingga kau diajak bangkit oleh rakyat, langkahmu akan ringan, bagai meraga sukma kemana-mana seringan kapas. Tetapi semua terjahit dengan benang merah keinginanmu mengabdi. Niscaya mekarmu makin mempesona dan harummu melebihi raflesia. Karena kau dikerumuni mawar, melati dan kenanga di taman lokananta nan permai.
*****
Medan Satria, 26/09/20.
##Slamet Arsa Wijaya.