Senyum manis itu tercurahkan di semilir yang cumbui gerimis tadi pagi. Memang tak sapa secara fisik tapi kehahangatan itu terasa. Karena aku dan kau terlibat dalam kesenggamaan metafisik. Puji Tuhan langkah gontai itu purna. Tak seperti saat kau baru dilahirkan hujan jelang senja untuk bertemu aku. Termangu di persimpangan gendong berat beban. Mendung tebal di wajahmu hampir turun. Syukur, ia tak jadi bah yang tenggelamkan jiwamu dari ombang ambing keputusasaan.
Di istighfar panjang yang kau jiwakan. Gemuruh di dada kian menyepi dan makin sunyi dari letupan masa lalu yang menyakitkan. Tergantikan penguat imani di dalam. Makin hari ketegaran menguasai. Pulih temukan lagi utuh jiwamu yang pernah raib direnggut kedurjanaan budak hasrat. Kini mutiara kembali merona di tiap yang menatap. Anggun bagai pucuk lawu berkalung mega mega tipis.
Meski tak ditakdirkan di segala rasa, tiada masgul dan halangi tuk tetap sajikan senyuman padamu. Sedikit saja tak terbersit dendam, saat kau ulangi hanyut oleh rayu maut tak senonoh. Itu hanya cermin lebar terpampang. Siapa pun bisa khilaf. Pejabat bisa bejat, ustad pun bisa terseret arus dinamika dan kehilangan idealisme. Hanya warna untuk siapa saja, yang jauh dari cahaya lazim kan kelam. Sulit bedakan baik buruk. Ikuti birahi dan keinginan syahwat dianggap syah saja. Waspada yang seperti ini sudah diperbudak, hati hatilah agar tak dibuatnya budak nafsu. Â Â Â Â
Bagiku kau tetap bagai kembang jambu merona diterpa mentari. Senyumu tetap bangkitkan naluri tapi bukan terpedaya. Guyuran hujan dini hari makin segarkan jiwa untuk arif dan realita. Tubuhmu yang mengesankan di setiap mata hanya abstraksi cintaku. Tetap kemolekan perilaku yang terpancar dari perangai nyata itu bidadari kehidupan. Kerinduan nurani ini seyognyanya wujudkan cinta pada Robb agar Ia juga menyayang di tiap waktu tanpa jeda.
*****
Bekasi, 18/09/20.
##Slamet Arsa Wijaya.