Tinta di tangan gemintang dan lontar di tangan rembulan. Bintang menggoreskan penanya sebait puisi cinta. Rembulan membacakannya kepada daun-daun, kepada bunga-bunga, dengan menyapa reranting dan dahan-dahan. Mencari benang merahnya yang dimimpikkan insan-insan. Tentang cita-cita, tentang perilaku dan tentang kebijaksanaan.Â
Bijaksana itu mau belajar hal susah dan mempraktekan yang sulit-sulit. Menghargai proses belajar dan bisa pahami maknanya. Sederhananya tuk menikmati gurihnya kacang harus pecahkan kulit, memisah isinya, baru mengunyah dan menelan hingga ada rasa sejati.
Tidak seperti sekarang banyak yang belum mecicipi sesuatu berani klaim tidak enak, tidak becus, pahit, getir, asem , dll. Sebaliknya kepada sesuatu yang sudah matang, sudah enak masih diulak-ulik ingin menggorengnya lagi. Yang ada hawanya jadi eneg. Kata bulan bila ingin kewibawaan, kendalikanlah pikiran agar tak liar. Akal sehatnya tuk tangkap sinyal sinyal barokah agar tetap terarah.
Ujar gemintang, apa bedanya dengan balita jika tak paham realita dan logika. Tetapi bintang maklum dan bersyukur kepada jawaban BELUM. Tandanya mau ikuti proses belajar. Bilang TIDAK MAU pun masih dikata memiliki nurani. Ada ingin BISA. Asalkan mau kupas rasa malas. Satu disesalkan pungkas bintang, jika katakan pokoke TIDAK BISA itulah tanda-tanda kiamat di jiwa.
******
Bekasi, 240920.
##Slamet Arsa Wijaya.