Mohon tunggu...
Nabila
Nabila Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance writer

Writing is the cathartic escape that untangles the web of thoughts and emotions, freeing the mind from the thorns of confusion and anxiety.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Seri Penasaran: Bagaimana Lingkungan dan Internet Mempengaruhi Perilaku Anak

28 Februari 2023   08:41 Diperbarui: 28 Februari 2023   22:01 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Berawal dari rasa penasaran saya terhadap perilaku anak-anak di lingkungan sekitar, timbul akhirnya tulisan ini dengan maksud untuk mengedukasi diri sendiri dan juga mengajak para pembaca untuk ikut merefleksikan diri tentang perilaku anak-anak negeri, penerus bangsa di masa depan nanti.

Mungkin tidak sedikit yang melihat dengan mata kepala mereka sendiri tentang bagaimana anak-anak jaman sekarang berperilaku terhadap sesama juga terhadap orang tua. Di internet, nampaknya sudah sering bermunculan berita mengenai anak-anak di bawah umur yang melakukan tindak tidak senonoh, tindakan keji yang merugikan banyak pihak, sampai-sampai ada pula yang berani habiskan nyawa seseorang yang usianya jauh di bawah mereka.

Kali ini, saya ingin berbagi tentang anak dan perilaku. Patut digarisbawahi bahwa apa yang saya tulis adalah campur tangan opini pribadi, beserta beberapa jurnal pendukung yang saya temukan selama menulis halaman ini. 

Pada awalnya saya bertanya-tanya, apakah perilaku seorang anak adalah turun-temurun daripada kedua orangtuanya atau ada campur tangan dari lingkungan sekitar? Dan saya menemukan dua-duanya sebagai jawaban. Orang tua adalah gerbang utama bagi anak untuk mengenal dunia. Dari orang tua, mereka belajar berbicara, mereka meniru gerak-geriknya, dan mereka memahami sisi baik dan buruk dari orang tua masing-masing.

Ada beberapa fakta, dimana orang tua mempengaruhi perilaku anaknya. Penelitian juga menjelaskan bahwasanya anak-anak memahami perilakunya dengan belajar dari orang tua melalui modeling, reinforcement, dan punishment. Salah satu contohnya adalah anak yang tumbuh di sebuah keluarga yang menjunjung tinggi kesopanan, memiliki empati yang tinggi terhadap sesama, akan mengikuti bagaimana perilaku orang tua mereka dalam memperlakukan orang lain. Ini termasuk bagaimana mereka bertutur kata yang baik, mengucap salam kepada yang lebih tua, dan tolong-menolong dengan teman.

Sementara anak yang tumbuh di dalam keluarga yang orang tuanya berperilaku buruk, tidak sopan, juga menjadi cerminan bagaimana anak-anak itu tumbuh menjadi figur yang tidak sopan terhadap siapa pun. Mungkin, beberapa pembaca di sini sudah tidak asing mendengarkan ada anak di bawah tujuh belas tahun, yang gaya bicaranya sudah melampaui umur, disisipkan pula kata-kata kasar dari berbagai macam bentuk dan rasa yang terkadang buat pendengar (terkhusus, saya) merasa tidak nyaman.

Sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Developmental Psychology, menemukan bahwa orang tua yang membawa kesan positif dalam mendidik anaknya, akan menumbuhkan perasaan dan sikap positif kepada anak tersebut. Studi ini dilakukan kepada anak usia 3-5 tahun dalam rentang dua tahun penelitian dengan menggunakan berbagai macam cara pembelajaran.

Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki orang tua dengan praktik pengasuhan yang lebih positif mempunyai kontrol diri yang lebih baik daripada anak-anak yang memiliki orang tua dengan praktik pengasuhan yang kurang positif. Para peneliti juga menyimpulkan bahwa praktik pengasuhan positif dapat membantu anak-anak mengembangkan keterampilan penting seperti pengendalian diri, perhatian, dan pengambilan keputusan.

Namun, lagi, saya bertanya-tanya. Bagaimana kalau nyatanya ada anak-anak yang memiliki orang tua dengan gaya asuh yang positif, tetapi memiliki anak yang tumbuh dengan perilaku kurang menyenangkan? Di zaman yang semakin canggih, ponsel pintar dan teknologi di dalamnya kemudian menjadi jawaban.

Ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan teknologi yang berlebihan atau tidak tepat, seperti menonton video di YouTube yang tidak sesuai usia, dapat berdampak negatif pada perilaku anak-anak. Namun, penting untuk dicatat bahwa teknologi itu sendiri belum tentu menjadi penyebab masalah perilaku anak; sebaliknya, itu mungkin bisa menjadi faktor yang berkontribusi atau cerminan dari masalah yang mendasarinya.

Penelitian menemukan bahwa penggunaan teknologi yang berlebihan dapat dikaitkan dengan masalah seperti kurangnya waktu tidur, penurunan aktivitas fisik, dan prestasi akademik yang lebih rendah, yang pada gilirannya dapat menyebabkan masalah perilaku. Selain itu, paparan konten kekerasan atau tidak pantas secara online dapat membuat anak-anak tidak peka terhadap kekerasan dan mempromosikan perilaku agresif.

Sebuah studi yang diterbitkan dalam JAMA Pediatrics mengemukakan bahwa penggunaan ponsel yang berlebihan dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih rendah di antara anak-anak dan remaja. Studi ini menganalisis data dari lebih dari 40.000 anak dan menemukan bahwa mereka yang menghabiskan lebih banyak waktu dengan ponsel memiliki tingkat keingintahuan, pengendalian diri, stabilitas emosional, dan kompetensi sosial yang lebih rendah.

Sementara, studi yang diterbitkan dalam Journal of Child Psychology and Psychiatry menemukan bahwa paparan media kekerasan, termasuk video game, dikaitkan dengan peningkatan risiko perilaku agresif pada anak-anak. Studi ini meneliti sekelompok anak-anak selama periode dua tahun dan menemukan bahwa mereka yang terpapar media yang lebih kejam memiliki tingkat agresi fisik dan agresi verbal yang lebih tinggi.

Selain itu, ada studi yang diterbitkan dalam Computers in Human Behavior yang menemukan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dikaitkan dengan tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi pada remaja. Studi ini mensurvei lebih dari 1.700 remaja dan menemukan bahwa mereka yang menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial memiliki tingkat kecemasan sosial dan gejala depresi yang lebih tinggi.

Tetapi, penting juga untuk dicatat bahwa teknologi dapat memiliki banyak manfaat positif bagi anak-anak ketika digunakan dalam kurun waktu yang cukup, dan dengan pengawasan yang tepat dari orang tua. Misalnya, aplikasi dan game pendidikan yang dapat membantu anak-anak belajar dan mengembangkan keterampilan baru, dan media sosial dapat membantu anak-anak tetap terhubung dengan teman dan keluarga.

Sayangnya, rasa penasaran saya belum juga bisa dipecahkan. Saya kembali bertanya-tanya: Kalau orang tua dan internet memiliki andil dalam mengonstruksi perilaku anak-anak, bagaimana dengan ekonomi?

Ya, saya menemukan bukti yang menunjukkan bahwa faktor ekonomi dapat berdampak pada perilaku anak. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam keluarga berpenghasilan rendah lebih mungkin mengalami berbagai kesulitan sosial dan emosional, termasuk masalah perilaku, dibandingkan dengan teman sebaya mereka dari latar belakang yang lebih kaya.

Salah satu alasannya, mungkin karena keluarga dengan penghasilan rendah mengalami tingkat stres dan kekhawatiran yang lebih tinggi, yang dapat menumbuhkan lingkungan yang kurang kondusif untuk perkembangan sosial dan emosional yang positif pada anak-anak. Ketidakamanan finansial, kehilangan pekerjaan atau pengangguran orang tua, dan perumahan atau perawatan kesehatan yang tidak memadai semuanya dapat berkontribusi pada peningkatan stres dan hasil negatif bagi anak-anak.

Selain itu, anak-anak dari keluarga yang berpenghasilan rendah mungkin memiliki lebih sedikit akses ke sumber daya dan peluang yang dapat mendukung perkembangan sosial dan emosional mereka, seperti pendidikan anak usia dini yang berkualitas, kegiatan ekstrakurikuler, dan layanan kesehatan mental yang otomatis menciptakan kerugian yang sulit diatasi, dan mengarah ke tingkat masalah perilaku yang lebih tinggi dan hasil negatif lainnya.

Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Child Development mendapati bahwa anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah lebih memungkinkan mengalami masalah perilaku dibandingkan dengan teman sebaya mereka dari latar belakang yang lebih berada. Studi ini menganalisis data dari studi longitudinal anak-anak dan menemukan bahwa kerugian sosial ekonomi dikaitkan dengan peningkatan tingkat perilaku eksternalisasi, seperti agresi dan melanggar aturan.

Sementara studi yang diterbitkan dalam jurnal Developmental Psychology menemukan bahwa pendapatan keluarga adalah prediktor signifikan dari keterampilan dan perilaku sosial anak-anak. Studi ini menganalisis data dari lebih dari 5.000 anak dan menemukan bahwa anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah lebih mungkin mengalami masalah sosial dan perilaku, seperti kesulitan dengan pengaturan diri dan hubungan interpersonal.

Dan ada juga studi yang diterbitkan dalam Journal of Child and Family Studies yang menemukan bahwa tekanan keuangan dan stres orang tua dapat dikaitkan dengan peningkatan tingkat masalah perilaku pada anak-anak. Studi ini mensurvei orang tua lebih dari 1.000 anak dan menemukan bahwa stres ekonomi adalah prediktor signifikan dari perilaku internalisasi dan eksternalisasi anak-anak.

Dari berbagai aspek, perilaku anak-anak bisa dikonstruksi. Namun menurut saya sendiri, yang paling utama adalah orang tua. Kembali lagi ke awal, dimana orang tua adalah gerbang yang akan menuntun anak-anak menyongsong masa depan. Seburuk apapun sebagian sisi teknologi, itu tidak berarti apa-apa jikalau orang tua turut andil dalam proses pembelajaran anak dengan ponsel pintarnya. Ada berbagai macam saluran YouTube yang bisa menjadi wadah pembelajaran anak, dengan berbagai informasi yang dapat membantu mereka mengenal dunia lebih jauh: seperti saluran YouTube tentang sejarah, tentang hewan-hewan dan bagaimana mereka hidup di alam, tentang bahasa asing yang bisa menambah wawasan dalam berbahasa, sampai saluran YouTube yang memberikan pelajaran gratis dengan beragam topik. Sayangnya, saya rasa masih banyak orang tua yang lalai dalam membatasi anak-anak mereka berselancar di internet.

Saya kembali menilik kasus bocah yang bisa-bisanya menghabisi nyawa anak kecil sebab mereka terlena oleh uang yang dibacanya dari internet. Anak SMP sudah berani melakukan tindakan tidak senonoh yang berakhir dengan penghabisan nyawa, ada pula anak-anak yang berkata kasar kepada orang tua bahkan kepada guru yang mengajar mereka.

Mungkin tulisan ini sudah sampai di penghujung sebab nyaris jam dua dini hari saya mendapat ide untuk menuliskan penutupnya. Terima kasih untuk yang telah membaca, dan mohon maaf kalau masih ada kesalahan dalam mencari data-data. Kembali lagi, saya menulis ini dengan tujuan mengedukasi diri, melatih minat baca, dan menyelami wawasan lebih baik lagi, dan barangkali bisa berdiskusi dengan para pembaca atau mungkin ahli yang tidak sengaja melihat halaman ini.

Sumber:

Valiente, C., Lemery-Chalfant, K., Swanson, J., & Reiser, M. (2008). Prediction of children's academic competence from their effortful control, relationships, and classroom participation. Developmental Psychology, 44(3), 647-659. doi: 10.1037/0012-1649.44.3.647

Conger, R. D., Conger, K. J., Martin, M. J., & Brody, G. H. (2010). Socioeconomic status, family processes, and individual development. Child Development, 81(3), 714-731. doi: 10.1111/j.1467-8624.2010.01431.x

Duncan, G. J., Yeung, W. J., Brooks-Gunn, J., & Smith, J. R. (1998). How much does childhood poverty affect the life chances of children? American Sociological Review, 63(3), 406-423. doi: 10.2307/2657556

Evans, G. W., & Kim, P. (2013). Childhood poverty and young adults' allostatic load: The mediating role of childhood cumulative risk exposure. Psychological Science, 24(9), 1765-1773. doi: 10.1177/0956797613486482

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun