Mohon tunggu...
SKD SoeKa Institute Gresik
SKD SoeKa Institute Gresik Mohon Tunggu... -

Sekolah Kader Desa Soenan Kalidjaga Institute Gresik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Teras Perekonomian Desa Banyutengah

13 Maret 2017   02:56 Diperbarui: 14 Maret 2017   00:01 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertambangan Batu Kapur

Sekilas pandang, Desa Banyutengah tak istimewa. Desa yang dikelilingi wilayah persawahan dan industri di Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik, tersebut sebagian diisi permukiman yang tergolong padat.

Permukiman desa terbagi dua: timur jalan dan barat jalan. Keduanya dipisahkan jalan desa yang bermuara ke Jalan Daendels. Terkait jalan desa tersebut, tumbuh keyakinan di masyarakat, bila kepala desa berasal dari barat jalan, desa akan maju, makmur serta aman-tentram.

Jalan desa tersebut, memiliki beberapa anak jalan, yakni gang-gang lebih sempit yang membelah petak-petak rumah. Teman saya dari Kalimantan yang pernah berkunjung, takjub melihat beberapa rumah. Tergolong mewah-menengah, haturnya.

Kendaraan roda dua, umumnya lebih dari satu terparkir di depan masing-masing petak rumah. Dulu, orang ke warung kopi berboncengan. Sekarang, satu orang satu motor. Hampir dapat dipastikan, tiap rumah miliki lebih dari satu motor.

Adapun kendaraan roda empat, relatif masih jarang. Maksudnya mobil keluarga. Sedang mobil bak terbuka, truk, atau kendaraan usaha, relatif lebih banyak, mengingat perekonomian masyarakat sebagian bertumpu pada pengangkutan bahan galian C.

Gambaran tersebut, barangkali sekilas mampu menggambarkan tingkat kesejahteraan dan perkonomian masyarakat desa.


Minimal, bila tidak disebut maju, kesejahteraan masyarakat sudah berkembang kian pesat. Dulu, angka kriminal pencurian relatif tinggi. Sepeda motor, mesin sanyo, bahkan televisi, sering menjadi barang tertuju pencurian. Sekarang relatif jauh berkurang, bahkan sudah tidak pernah terdengar. 

Pusat desa terletak di sekitar masjid Roudlotul Muttaqin. Dulu masjid itu masjid desa. Namun karena sisi kelam hubungan NU-Muhammadiyah, masjid tersebut akhirnya identik dengan salah satu ormas. Adapun ormas lain, berhijrah, mendirikan masjid lain.

Disana, permukiman sangat padat. Ke arah barat dari masjid, ada pemakaman. Ke arah timurnya, ada lapangan sepakbola. Pusat kegiatan warga hampir semuanya berpusat di titik ini.

Maka patut diduga, di titik itulah peradaban Banyutengah dimulai. Meski, merujuk tulisan sejarah yang pernah ditulis Taufiqurahman (Blog Surya Buana, 2016), peradaban desa mula-mula di sekitar Sumur Nangka, dan pernah berpindah. Namun kala itu, masyarakat setempat barulah komunitas adat sederhana.

Peradaban modern atau masyarakat kompleks, mungkin, dimulai di sekitar masjid Roudlotul Muttaqin.

Termasuk letak balai desa sekarang, dugaan saya, tidaklah seperti sekarang. Artinya, saat masyarakat memulai peradaban baru di sekitar masjid, balai desa kala itu berbeda lokasi dengan balai desa masa sekarang. Lanskap pusat masyarakat yang diperkenalkan Sunan Kalijaga terdiri dari alun-alun, keraton, dan masjid. Lanskap pusat masyarakat tersebut umumnya berdekatan sebagai simbol peradaban masyarakat.

Balai desa sekarang, kemungkinan, adalah peradaban lebih baru lagi. Selatan balai desa merupakan anak peradaban atau wilayah pengembangan dari pusat peradaban lama. Ke depan, anak peradaban baru barangkali akan lahir, yakni wilayah perindustrian selatan Jalan Daendels yang dulunya merupakan lahan luas pertanian.

Karena perbedaan kultur antara selatan dan utara Jalan Daendels, sangat mungkin akan lahir anak peradaban baru. Mungkin juga terjadi pemekaran wilayah hukum. Satunya merupakan wilayah permukiman yang agraris, satunya lagi pengembangan wilayah berbasis industri tambang.

Menariknya, tidak ada pasar di desa ini. Saya lahir 90-an, tidak pernah mendapati sebuah pasar di desa ini. Pun mendengarnya dari cerita ke cerita. Hal itu berlaku sampai hari ini.

Lalu, bagaimana peradaban ekonomi warga desa dulu? Apakah sejak awal memang tidak memiliki pasar? Atau pernah ada namun hilang seiring berjalannya waktu? Yang jelas, pasar merupakan gerbang lalu lintas perekonomian desa.

Ada beberapa perusahaan beroperasi di desa ini. Terutama dalam kurun 2000-an, berdiri beberapa perusahaan industri tambang galian C yang relatif besar. Salah satunya PT Galatta Lestarindo. Dalam visinya, Galatta ingin diakui sebagai perusahaan kelas dunia yang berkembang, unggul dan dipercaya sebagai pemasok pupuk.

Beberapa produk yang dihasilkan, seperti dolomite M-100, phoskanat, dan calsimag. Pertanyaannya, sejauh mana perusahaan tersebut mendukung ekonomi masyarakat Banyutengah di sektor pertanian?

Hal itu penting dipertanyakan. Jangan sampai, sumber alam Banyutengah diangkut untuk kesuburan tanah di luar sana, sedang Banyutengah sendiri mengalamai persoalan ekologis.

Juga, sejauh mana perusahaan tersebut mengembangkan SDM masyarakat lokal? Kalau perusahaan berdiri hanya untuk menjadikan masyarakat lokal sebagai kuli,  itu penjajahan modern.

Yang juga menjadi pertanyaan besar, apa yang telah diberikan perusahaan terhadap pengembangan pendidikan indutri bagi masyarakat?  Tidak ada !

Entah, berapa jumlah perusahaan yang ada di Banyutengah. Terutama perusahaan besar.

Di masyarakat Banyutengah, tumbuh pemahaman, istilah perusahaan merujuk ke Perseroan Terbatas (PT). Padahal sebenarnya, perusahaan merupakan organisasi usaha atau wadah usaha. Dari yang paling sederhana, sampai yang paling kompleks.

Organisasi perusahaan ada berapa macam, seperti perusahaan terbatas (PT), perusahaan komanditer (CV), firma, perusahaan perseorangan dan koperasi. Toko-toko dan usaha keluarga yang banyak ditemukan di Banyutengah, dikategorikan perusahaan perseorangan.

Sebagian masyarakat Banyutengah yang pernah bekerja di Malaysia, sering menyebut istilah kongsi atau perkongsian. Istilah itu sebenarnya merujuk ke persekutuan perdata. Persekutuan perdata merupakan usaha yang dimiliki lebih dari seseorang namun belum mengenal pemisahan kekayaan.

Menurut saya, memahami berbagai macam perusahaan tersebut penting untuk membuka peluang berwirausaha bagi masyarakat. Polemik investasi Karang Taruna tempo lalu, sejatinya dapat diatasi dengan teori ini. Bukan justru membubarkan organisasi induknya.

Selain dibedakan secara organisasi, usaha masyarakat juga dibedakan berdasarkan jenisnya, seperti produksi barang, pertanian, peternakan, perdagangan, pengangkutan, jasa usaha, juga pendidikan. Mengklasifikasikan hal tersebut penting untuk menggambarkan kontribusi dan distribusi sektor terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Urgensinya apa? Sederhana saja. Masyarakat di desa ingin sejahtera. Pemerintah dibentuk untuk mencapai tujuan tersebut. Negara ini menganut sistem welfare state, dimana pemerintah turut hadir dalam kesejahteraan hidup orang banyak.

Kesejahteraan masyarakat, bukan soal irigasi, penataan selokan, dan pembangunan jalan serta gapura semata. Kebijakan-kebijakan untuk pertumbuhan ekonomi warga juga diperlukan.

Di sinilah pentingnya pemerintah sebagai regulator untuk mengatur. Bahwa masyarakat harus mandiri, berwirausaha secara mandiri, itu benar. Namun pemerintah juga berkewajiban untuk mengarahkan dan mengfasilitasi. Itulah arti hadir pemerintah.

Misal, ada sebuah desa yang terletak di kota padat permukiman. Tidak ada lahan pertanian. Karena kebetulan desa tersebut terletak dekat tempat wisata, pemerintah lokal melihat peluang bisnis souvenir bagi masyarakatnya. Pelatihan pun dilakukan, mulai pembuatan kerajinan tangan, manajemen, sampai penjualannya.

Tidak cukup itu, pemerintah desa pun mengawal dan membinanya. Lambat laun, desa tersebut menjadi pusat ekonomi kreatif, yakni souvenir bagi wisatawan.

Di situlah pentingnya kehadiran pemerintah. Pemerintah berfungsi sebagai perekayasa ekonomi masyarakat. Masyarakat jangan dibiarkan berjalan sendiri. Namun bukan berarti menyuapi masyarakat. Ada batas yang jelas, yakni membangun, membina, dan mengawal kemandirian masyarakat.

Nah data pendapatan seperti yang tergambarkan pada PDRB, disini menjadi penting

Terlebih di Banyutengah, industri besar berdampak ekologis. Taruhannya lingkungan. Tapi perusahaan relatif sangat bebas, tanpa peran pengaturan dari Pemdes. Tidak ada Perdes soal tanggung jawab sosial perusahaan. Alhasil, industri kehilangan makna sosialnya.

Terlihat kan? Di desa yang sekaya itu sejatinya, klub sepakbola lokal saja luput dari pantauan kesejahteraan.

Padahal, klub sepakbola seperti Putra Buana, memiliki dampak baik bagi masyarakat, terutama bagi anak-anak muda. Bila dianggap belum mampu menuju ke arah klub professional, setidaknya klub sepak bola tersebut secara sosiologis telah berhasil mengurangi kenakalan remaja, juga sebagai wadah pengarah anak-anak muda. Di NU, mesin kaderisasi sesungguhnya ialah PS Putra Buana.

Sayang, sampai detik ini, belum terlihat perhatian dan apresiasi Pemerintah setempat terhadap eksistensi klub sepak bola lokal.

Perusahaan, umumnya selain menyerap tenaga kerja, juga memberi dampak ekonomi lain. Aneka pedagang, baik bergerobak maupun yang gunakan bangunan semi permanen, biasanya berjaga di sekitar pintu gerbang, menanti pekerja yang datang dan pulang.

Namun semangat memanfaatkan peluang ekonomi sisa tersebut, tidak terlalu nampak di desa ini.  Usaha jasa kost pun tidak terlalu jamak berkembang.

Struktur Perekonomian Desa

Sebelum digulung industri tambang batu kapur, pertanian merupakan sektor perekonomian mayoritas, tradisional, dan turun-temurun dari masa ke masa. Masyarakat Banyutengah nampaknya kurang gemar berdagang. Setidaknya itu terbaca dari sejarah pasar yang tidak jelas, juga geliat ekonomi di sekitar pabrik yang kurang digarap menjadi lahan ekonomi sisa.

Tidak jelas, bagaimana sejarah industri tambang batu kapur di Banyutengah. Beredar kabar, di area tersebut terdapat tanah negara, sedang sebagian besar lainnya tanah desa. Namun bersamaan, muncul istilah juragan atau pemilik lahan.

Lantas, bagaimana sebenarnya pola pengelolahan area tersebut? Ini menyisakan pertanyaan besar. Yang jelas, tanah negara atau tanah desa tidak bisa dialas hak dengan kepemilikan, melainkan hak guna usaha, hak pakai, dan hak guna bangunan.

Itu pun setahu saya, tidak diperuntukkan pertambangan.

Masyarakat tentu merindukan, terutama anak-anak muda, sosok pemimpin yang mampu menjadi edukator. Fungsi ini yang terpenting diharapkan ada pada pemerintah. Anak-anak muda perlu dibukakan data dan peraturan soal lokasi pertambangan galian C, karena hajat hidup hari esok ada di tangan mereka.

Benar, persoalan tidak semua dapat dikembalikan ke peraturan, norma, kaidah, atau teori. Namun setidaknya, kaidah merupakan kompas untuk membaca persoalan tersebut. Intinya, bagaimana agar kekayaan alam desa diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat desa, itu tertanam dalam pikiran anak-anak muda mulai sekarang.

Saat ini, boleh dikatakan, struktur perekonomian Banyutengah bertumpu pada sektor primer (industri tambang galian C: batu kapur), sektor sekunder (pertanian dan peternakan), dan sektor tersier (usaha jasa dan perdagangan). Dalam pembahasan ekonomi, kita sering mendengar istilah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Bila PDRB dikontruksikan di Banyutengah, maka sektor industri tambang-lah yang berkontribusi terbesar.

Yang ironis, ialah pertanian desa. Selain pendirian pabrik akan persempit lahan pertanian, tidak adanya peraturan desa tentang rencana tata ruang yang jelas, juga perparah kondisi pertanian kita. Artinya apa? Desa tidak punya grand design perekonomiannya. Dalam studi ketatanegaraan, ini kasus yang menarik dan masih jamak terjadi, dimana desa masih belum maksimal memanfaatkan otonominya.

Adapun perdagangan dan usaha jasa, sekilas tidak terlihat besar, namun bersifat jamak. Banyak rumah yang miliki usaha rumah tangga toko, bengkel kendaraan, warung kopi, juga konter pulsa.

Ke depannya

Struktur ekonomi kita bertumpu pada sektor industri pertambangan galian C. Sumber daya yang tersedia akan habis, diangkut keluar dan tidak dapat diperbaharui. Ini resiko. Sehingga industri tersebut bersifat terbatas.

Ke depan, penting bagi pemerintah desa untuk mendorong tumbuhnya sektor sekunder dan tersier yang berbasis pertanian dan budaya masyarakat lokal, salah satunya melalui pembentukan BUMDes. Konsep BUMDes yang akan dibangun adalah bagaimana usaha yang dikembangkan di desa tidak membuat masyarakat lari dari desa dan akar budayanya.

Anggaran yang dialokasikan pemerintah dapat digunakan untuk mendirikan BUMDes dengan harapan akan tumbuh sektor tersier mampu mendukung sektor pertanian dalam arti luas.

Satu pertanyaan yang tersimpan, berapa persen penduduk Banyutengah yang bertumpu pada sektor pertanian? Kiranya tidak tinggi, mengingat dalam beberapa tahun terakhir sektor pertanian digusur oleh industri tambang. Namun sekali lagi, karena sektor industri tambang bersifat terbatas, maka kiranya, perlu mulai dipikirkan sektor mana yang harus diperhatikan ke depan.

Tentu, sektor pertanianlah jawabannya.

Berkurangnya penduduk yang bertumpu pada pertanian dewasa ini, barangkali juga dipengaruhi kepemilikan lahan. Per-tahun 2016, 77 persen petani di Pulau Jawa merupakan petani gurem dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar dan luasan lahan per-keluarga tani 0,2-0,3 hektar.

Entah bagaimana di Banyutengah. Sepertinya sebagian besar merupakan para buruh tani atau petani gurem tanpa lahan.

Adapun di sektor industri, rasanya sulit untuk bicara banyak. Kesalahan desa, tidak ada kesepatan dan peraturan yang menguatkan posisinya pada masa pra-industri. Soal penyerapan tenaga kerja, misal. Soal tanggung jawab sosial perusahaan, di hal lain.

Bersambung…

13 Maret 2017

Achmad Faiz MN Abdalla (Direktur SKD SoeKa Institute Gresik)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun