Sekilas pandang, Desa Banyutengah tak istimewa. Desa yang dikelilingi wilayah persawahan dan industri di Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik, tersebut sebagian diisi permukiman yang tergolong padat.
Permukiman desa terbagi dua: timur jalan dan barat jalan. Keduanya dipisahkan jalan desa yang bermuara ke Jalan Daendels. Terkait jalan desa tersebut, tumbuh keyakinan di masyarakat, bila kepala desa berasal dari barat jalan, desa akan maju, makmur serta aman-tentram.
Jalan desa tersebut, memiliki beberapa anak jalan, yakni gang-gang lebih sempit yang membelah petak-petak rumah. Teman saya dari Kalimantan yang pernah berkunjung, takjub melihat beberapa rumah. Tergolong mewah-menengah, haturnya.
Kendaraan roda dua, umumnya lebih dari satu terparkir di depan masing-masing petak rumah. Dulu, orang ke warung kopi berboncengan. Sekarang, satu orang satu motor. Hampir dapat dipastikan, tiap rumah miliki lebih dari satu motor.
Adapun kendaraan roda empat, relatif masih jarang. Maksudnya mobil keluarga. Sedang mobil bak terbuka, truk, atau kendaraan usaha, relatif lebih banyak, mengingat perekonomian masyarakat sebagian bertumpu pada pengangkutan bahan galian C.
Gambaran tersebut, barangkali sekilas mampu menggambarkan tingkat kesejahteraan dan perkonomian masyarakat desa.
Minimal, bila tidak disebut maju, kesejahteraan masyarakat sudah berkembang kian pesat. Dulu, angka kriminal pencurian relatif tinggi. Sepeda motor, mesin sanyo, bahkan televisi, sering menjadi barang tertuju pencurian. Sekarang relatif jauh berkurang, bahkan sudah tidak pernah terdengar.Â
Pusat desa terletak di sekitar masjid Roudlotul Muttaqin. Dulu masjid itu masjid desa. Namun karena sisi kelam hubungan NU-Muhammadiyah, masjid tersebut akhirnya identik dengan salah satu ormas. Adapun ormas lain, berhijrah, mendirikan masjid lain.
Disana, permukiman sangat padat. Ke arah barat dari masjid, ada pemakaman. Ke arah timurnya, ada lapangan sepakbola. Pusat kegiatan warga hampir semuanya berpusat di titik ini.
Maka patut diduga, di titik itulah peradaban Banyutengah dimulai. Meski, merujuk tulisan sejarah yang pernah ditulis Taufiqurahman (Blog Surya Buana, 2016), peradaban desa mula-mula di sekitar Sumur Nangka, dan pernah berpindah. Namun kala itu, masyarakat setempat barulah komunitas adat sederhana.
Peradaban modern atau masyarakat kompleks, mungkin, dimulai di sekitar masjid Roudlotul Muttaqin.