Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kebaikan yang Tulus & Ikhlas, Tidak Tinggalkan Jejak Luka

3 April 2025   20:43 Diperbarui: 3 April 2025   21:01 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Kebaikan kecil yang tulus dan ikhlas, sekali pun diberikan kepada orang yang tidak baik, selalu ada cara untuk kembali secara maslahat, dalam bentuk kebaikan dari orang lain. Sebab, ada jejak baik yang ditinggalkan, bukan luka.

Namun, kebaikan sebesar apa pun yang tidak tulus dan tidak ikhlas, sekali pun diberikan kepada orang yang baik, akan kembali, dalam bentuk kemudaratan. Sebab, ada jejak jahat yang ditinggalkan, membuat luka dan derita.

(Supartono JW.03042025)

Idulfitri 1446 Hijriah telah kita lalui, namun, membaca berita-berita di media massa, Kamis (34/2025), ada hal menyoal kebaikan yang diulas. Terutama hal kebaikan yang dilakukan dengan tulus dan ikhlas, tetapi ada yang dilakukan malah meninggalkan luka, karena ada rekayasa.

Yah, perbuatan baik, tidak selalu dilakukan oleh orang atau pihak yang baik. Banyak orang atau pihak yang pura-pura baik, lalu berbuat baik, tetapi perbuatan baiknya tidak tulus dan tidak ikhlas, karena mereka berbuat baik karena ada  harapan mendapatkan "imbalan" dari kebaikannya.

Karenanya, untuk kedok kebaikannya, banyak cara dan model ditempuh, demi orang lain dan pihak lain terpedaya sandiwara kebaikan yang sekadar drama.

Bahkan, yang paling ironis, "membaca" tentang Indonesia, bukan lagi menjadi kisah baru, bahwa orang-orang jahat dan licik berlomba berbuat baik kepada orang lain atau pihak lain, dengan terlebih dahulu membuat orang lain, pihak lain, tetap bodoh, miskin, dan menderita dulu. Siapa pelaku kebaikan berkedok yang seperti itu? Rakyat yang cerdas pun, tahu.

Khususnya dalam ranah politik, skenarionya, orang yang bodoh, miskin, dan menderita, bila diberikan sedikit kebaikan kecil yang sesaat, akan mudah membalas kebaikan dan merasa berutang budi. Lalu, membalas ucapan terima kasihnya dalam bentuk mencoblos gambar orang yang baiknya hanya sesaat itu. Itu sudah cukup untuk mengantar mereka dapat duduk di kursi yang diharapkan. Lalu, melupakan janji dan siapa yang mencoblos gambarnya. Karena, niatnya hanya kebaikan sesaat.

Lebih miris, kebaikan yang sesaat itu, juga memakai "modal" orang lain (baca: uang rakyat).

Lihat diri sendiri

Menjadi saksi dan penonton pertunjukan drama "kebaikan sesaat yang memakai uang rakyat", di Indonesia, tidak akan ada habisnya, karena "mereka" terus merapatkan barisan dan memperkuat diri mereka sendiri demi kepentingan dan keuntungan pribadi yang selalu.
Dan, sama sekali tidak ada yang pantas diteladani.

Oleh karena itu, di bulan baik, usai Idulfitri, ada baiknya kita merefleksi diri, bercermin, apakah selama ini, kita sudah berbuat baik dan menjadi orang baik yang tulus dan ikhlas?

Sebab, kebaikan kecil yang tulus dan ikhlas, sekali pun diberikan kepada orang yang tidak baik, selalu ada cara untuk kembali secara maslahat, dalam bentuk kebaikan dari orang lain. Sebab, ada jejak baik yang ditinggalkan, bukan luka.

Namun, kebaikan sebesar apa pun yang tidak tulus dan tidak ikhlas, sekali pun diberikan kepada orang yang baik, akan kembali, dalam bentuk kemudaratan. Sebab, ada jejak jahat yang ditinggalkan, membuat luka dan derita.

Dalam kehidupan masyarakat, selama ini, yang lazim, perbuatan baik atau jahat (baca: kesalahan) yang lebih mudah diingat? Dalam kenyataannya, masyarakat lebih mudah  mengingat kesalahan seseorang daripada kebaikannya. 

Bahkan, ada yang membicarakan kesalahan orang lain kepada orang lain, padahal orang tersebut pernah mendapat kebaikan dari yang bersangkutan, seolah-olah orang tersebut tidak pernah berbuat kebaikan.

Memang, "karena nila setitik, rusak susu sebelanga". Kebaikan yang telah diperbuat dapat hilang karena kesalahan atau kejahatan yang kecil. 

Tetapi, yang pasti, sekecil apa pun kebaikan yang tulus dan ikhlas, tidak ada udang di balik batu, adalah perilaku yang memberikan dampak positif bagi orang lain, pihak lain.

Dan, terkadang, demi melihat orang lain bahagia, orang sampai lupa berbuat baik untuk diri sendiri. Padahal, berbuat baik untuk diri sendiri, merupakan kewajiban sebagai umat manusia.

Identifikasi kebaikan

Sepanjang hidup kita, coba kita bercermin, merefleksi, dan mengevaluasi diri dengan jujur, apa saja kebaikan kecil yang tulus dan ikhlas, tanpa tendensi atau ada udang di balik batu, dari kebaikan yang sudah pernah kita lakukan. 

Apakah selama kita menjalani kehidupan, kita akrab mengucapkan kata: "Tolong", "maaf", dan "terima kasih"? 

Ketiga kata tersebut merupakan ungkapan yang menunjukkan sikap menghargai dan dapat menjadi kunci keberhasilan komunikasi. Siapa yang akrab dengan ketiga kata tersebut, tentu adalah orang yang juga terbiasa selalu untuk berbuat baik untuk diri sendiri dan orang lian.

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Dan, orang yang baik, tahu etika dan sopan santun, sehingga saat akan meminta atau pertolongan dari orang lain, karena menunjukkan rasa hormat terhadap orang lain, maka akan menggunggunakan kata "tolong".

Saat melakukan kesalahan baik disengaja atau tidak, membuat orang lain terganggu, membuat orang lain menderita, membuat orang lain kecewa, dll, sebagai
rasa tanggung jawab dan demi selalu menghargai orang lain, serta membuat suasana tetap nyaman dan damai, maka kata "maaf" adalah solusinya.

Orang-orang baik yang tidak pernah lupa dengan kata tolong dan maaf, biasanya adalah orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Sehingga, selalu pandai bersyukur, tahu diri, peduli, penuh simpati-empati, dan untuk mengekspresikan rasa syukur atau apresiasi dari apa yang sudah didapatkan, terutama karena dalam kehidupannya, mustahil tanpa bantuan dan pertolongan dari orang lain, maka kata "terima kasih" akan selalu eksis baik dari ucapan mau pun perbuatannya.

Sebab, dengan ucapan terima kasih baik dalam ucapan mau pun perbuatan, akan menunjukkan sikap menghargai bantuan/kontribusi seseorang. Memberikan kesan yang baik bagi orang lain, hingga membuat seseorang merasa dihargai. 

Jangan sandiwara

Karakter baik seseorang, biasanya sangat lazim merupakan bawaan atau keturunan dari keluarganya secara turun-temurun. Sebab, biasanya, keluarga yang baik, akan membekali anak keturunannya dengan hal-hal baik dalam kehidupan.

Namun, terlepas dari keturunan asal keluarga macam apa, semoga kita senantiasa dapat berbuat baik tanpa kedok dan bersandiwara baik, demi kepentingan dan mencari keutungan.

Tetaplah menjadi pribadi yang baik, berbuat baik sekecil apa pun karena niat baik, tulus, dan ikhlas. Tidak pernah lupa dengan ucapan dan perbutaan yang menunjukan makna "tolong, maaf, dan terima kasih".

Jadi, kita tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang berbuat baik, tetapi meninggalkan jejak jahat, luka, dan penderitaan, yang direkayasa bagi orang lain. Aamiin YRA.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun