Oleh karena itu, di bulan baik, usai Idulfitri, ada baiknya kita merefleksi diri, bercermin, apakah selama ini, kita sudah berbuat baik dan menjadi orang baik yang tulus dan ikhlas?
Sebab, kebaikan kecil yang tulus dan ikhlas, sekali pun diberikan kepada orang yang tidak baik, selalu ada cara untuk kembali secara maslahat, dalam bentuk kebaikan dari orang lain. Sebab, ada jejak baik yang ditinggalkan, bukan luka.
Namun, kebaikan sebesar apa pun yang tidak tulus dan tidak ikhlas, sekali pun diberikan kepada orang yang baik, akan kembali, dalam bentuk kemudaratan. Sebab, ada jejak jahat yang ditinggalkan, membuat luka dan derita.
Dalam kehidupan masyarakat, selama ini, yang lazim, perbuatan baik atau jahat (baca: kesalahan) yang lebih mudah diingat? Dalam kenyataannya, masyarakat lebih mudah  mengingat kesalahan seseorang daripada kebaikannya.Â
Bahkan, ada yang membicarakan kesalahan orang lain kepada orang lain, padahal orang tersebut pernah mendapat kebaikan dari yang bersangkutan, seolah-olah orang tersebut tidak pernah berbuat kebaikan.
Memang, "karena nila setitik, rusak susu sebelanga". Kebaikan yang telah diperbuat dapat hilang karena kesalahan atau kejahatan yang kecil.Â
Tetapi, yang pasti, sekecil apa pun kebaikan yang tulus dan ikhlas, tidak ada udang di balik batu, adalah perilaku yang memberikan dampak positif bagi orang lain, pihak lain.
Dan, terkadang, demi melihat orang lain bahagia, orang sampai lupa berbuat baik untuk diri sendiri. Padahal, berbuat baik untuk diri sendiri, merupakan kewajiban sebagai umat manusia.
Identifikasi kebaikan
Sepanjang hidup kita, coba kita bercermin, merefleksi, dan mengevaluasi diri dengan jujur, apa saja kebaikan kecil yang tulus dan ikhlas, tanpa tendensi atau ada udang di balik batu, dari kebaikan yang sudah pernah kita lakukan.Â
Apakah selama kita menjalani kehidupan, kita akrab mengucapkan kata: "Tolong", "maaf", dan "terima kasih"?Â