Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional, sosial, dan pengamat sepak bola nasional. Ini Akun ke-4. Akun ke-1 sudah Penjelajah. Tahun 2019 mendapat 3 Kategori: KOMPASIANER TERPOPULER 2019, ARTIKEL HEADLINE TERPOPULER 2019, dan ARTIKEL TERPOPULER RUBRIK TEKNOLOGI 2019

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Selebrasi Gol yang Cerdas, Benar dan Baik, Tentu Sesuai Laws of The Game

12 Juni 2023   12:55 Diperbarui: 12 Juni 2023   13:06 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW

Siapa pun pesepak bola yang melakukan kreativitas dan inovasi selebrasi gol yang benar dan baik, dasarnya, memahami Laws of the Game 12. Pondasinya, cerdas intelegensi dan personality.

(Supartono JW.21052023)

Lanjutan Kompetisi Liga Fair Play (LFP) U-14 pekan ke-9 di helat pada Minggu, 21 Mei 2023. Catatan saya, di semua laga pekan ke-9 ini juga boleh disebut sebagai laga-laga yang sudah terkategori fair play. Namun, dari depalan laga yang tersaji dari pagi hingga sore hari itu, ada satu kisah yang wajib saya angkat dalam artikel ini.

Kisah itu adalah tentang selebrasi (merayakan) gol. Ternyata dari rangkaian delapan laga, ada salah satu pelatih yang memberikan hukuman mendidik bagi para pemain/siswanya. Pasalnya, saat merayakan ucapan syukur setelah timnya menciptakan gol ke gawang lawan, para pemain melakukan seleberasi yang berlebihan.

Tindakan melakukan seleberasi yang berlebihan, memang hal yang patut diberikan tindakan mendidik. Hal ini juga akan sangat dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan dan personality seseorang. Karenanya, pelatih yang sama dengan guru dan sama dengan orang tua, memang wajib memberikan arahan pendidikan yang benar tentang bagaimana melakukan selebrasi merayakan  gol yang benar dan baik, tidak berlebihan. 


Bahkan, dapat menimbulkan memancing emosi lawan, ofisial lawan, hingga suporter lawan. Hal ini tentu, wajib dihindari, dan jangan sampai terjadi. Terlebih LFP adalah wadah kompetisi sepak bola akar rumput yang wajib memberikan teladan bagi sepak bola akar rumput pada umumnya di Indonesia.

Sejarah selebrasi gol

Ada yang mengatakan, harta paling berharga dalam sepak bola adalah selebrasi gol. Pernyataan tersebut, boleh-boleh saja. Tidak salah, tergantung sudut pandang kita memandang dari mana tentang selebrasi itu.

Wajib disadari bahwa sepak bola adalah  olah raga yang paling menghargai sebuah proses akan sebuah hasil akhir bernama gol. Berbeda dengan olahraga tim lainnya seperti bola basket yang cenderung memiliki skor banyak hingga puluhan bahkan ratusan, atau olah raga football lainnya yang populer di Amerika Serikat. 

Semuanya tak ada yang menyamai sepakbola dalam menghargai sebuah gol. Sebab sebuah gol sangat berharga, maka lahirlah budaya selebrasi merayakan gol. Sebuah laga yang berjalan 2 x 45 menit (bahkan lebih) terkadang tidak berbuah 1 gol pun di akhir laga. Maka, sepakbola adalah satu-satunya olah raga yang mampu memaklumi sebuah selebrasi di tengah jalannya pertandingan.

Saya kutip dari Jurnalis The Athletic, Billy Munday, mengungkapkan bahwa selebrasi dalam dunia sepakbola tak mengalami perkembangan berarti hingga tahun 1950-an. Sebelumnya, selebrasi gol adalah luapan kegembiraan secara spontan. Mengangkat tangan sambil berteriak "Yes!" sambil memukul tinju ke udara adalah ekspresi yang paling naluriah dari manusia yang berhasil memperoleh sesuatu. Untuk kasus ini, adalah berhasil mencetak gol.

Mengapa Munday mengangap tahun 50-an sebagai lompatan terbesar selebrasi sepakbola? Bisa jadi, alasannya karena siaran langsung melalui televisi yang dimulai pada Piala Dunia 1954. 

Ketika itu, beberapa negara menyiarkan event tersebut langsung dari Swiss, mulai dari Jepang (NHK), Belgia (RTBF dan VRT), Cekoslovakia, Denmark, Jerman Barat, Jerman Timur, Prancis, Italia, serta Norwegia melalui stasiun televisi nasional masing-masing. Separuh Eropa hingga ke Asia Timur menyakskan laga Piala Dunia dari layar kaca di rumahnya. Selanjutnya, ternyata butuh waktu hingga 3 dekade, untuk membawa selebrasi sampai ke tingkat yang lebih tinggi.

Adalah Piala Dunia 1982 yang dihelat di Spanyol, yang kemudian menjadi saksi sejarah bagaimana selebrasi gol menjadi lebih individual. Gelandang Timnas Azzuri, Marco Tardelli melakukan selebrasi ikonik berteriak sambil berlari hingga dikejar rekan-rekannya. Selebrasi ini pula yang direplikasi oleh Fabio Grosso kala timnas Italia berhasil menumbangkan Jerman di laga semi final Piala Dunia 2006. Karenanya, selain menyoal water break yang menjadi regulasi FIFA, sebelumnya, Italia pun tercatat sebagai pelopor selebrasi yang dibuat oleh Tardelli.

Bicara selebrasi, tentu seluruh publik sepak bola sejagat tidak akan lupa dengan gaya selbrasi modern ala Ronaldo atau CR7. Namun soal kreativitas, sejak sejarah selebrasi dimunculkan, wakil Afrika, Kamerun masih boleh disebut juaranya. Catatannya, keikutsertaan Kamerun kedua di turnamen terakbar sepakbola sejagad tahun 1990 di Italia, menjadi batu loncatan dalam soal perayaan gol. Kapten tim sekaligus pemain paling gaek kala itu, Roger Milla melakukan selebrasi dengan cara unik: Berlari menuju tiang pojok lapang, kemudian mengangangkat tangan kanannya sambil menggoyangkan pinggulnya!

Empat tahun kemudian, pada ajang yang sama, lahir pula salah satu selebrasi paling diingat sepanjang masa. Bebeto, striker timnas Brazil, berlari ke pojok lapangan sambil memeragakan gerakan menimang-nimang bayi diikuti sesama rekan-rekannya. Hal tersebut ia lakukan mengingat anaknya yang juga baru lahir. Sejak itu, perayaan gol tidak pernah lagi menjadi hal yang biasa saja. Selebrasi gol adalah ungkapan kegembiraan yang juga ditambahi unsur yang lebih personal bahkan suatu pesan tertentu.

Dikutip dari buku The Expression of the Emotions in Man and Animals, karya Charles Darwin yang ditulis pada 1872 (kemudian dirilis ulang pada 1998), tertulis bahwa Darwin menganggap wajah sebagai media ekspresi emosi yang paling unggul pada manusia, dan mampu mewakili emosi utama dan variasi halus dalam diri masing-masing. Gagasan Darwin tentang ekspresi wajah dan laporannya tentang perbedaan budaya menjadi dasar bagi strategi penelitian etologis hingga kini.

Bicara ekspresi, bila dikaitkan dengan sepakbola, ekspresi wajah adalah hal yang tidak dapat ditutupi oleh pemain. Seperti ekspresi kesakitan ketika terkena tekel keras, ekspresi potes terhadap wasit, sampai ekspresi gembira saat seorang pemain berhasil mencetak gol. Hingga akhirnya lahir budaya selebrasi gol.

Dalam catatan sejarahnya, budaya selebrasi gol pun berbeda-beda. Pemain-pemain asal Eropa cenderung lebih individualis saat selebrasi gol. Pemain Amerika Latin, Asia, atau Afrika merayakan selebrasi gol secara kolektif dan lebih ekspresif.

Paula M. Niedenthal, Profesor psikologi di University of Winconsin-Madison, serta Franois Ric, dan Silvia Krauth-Gruber dalam buku berjudul Psychology of Emotion: Interpersonal, Experiential, and Cognitive Approaches menulis bahwa ekspresi berkaitan dengan kultur, dari mana manusia itu berasal, akan berpengaruh terhadap ekspresi yang dihasilkan. Oleh karenanya, cara pemain sepakbola melakukan selebrasi gol pun berbeda berdasarkan kultur budaya asalnya.

Sebab itu, dalam setiap pertandingan sepakbola, apalagi dalam Piala Dunia, kita akan lebih banyak melihat selebrasi kolektif alias selebrasi gol yang dilakukan oleh banyak pemain dari berbagai negara. Termasuk selebrasi sampai melepas kaos sepak bola yang dikenakan pemain,

Membatasi selebrasi gol

Beragamnya selebrasi dalam pertandingan sepak bola hingga sampai melepas kaos sepak bola, Badan Sepakbola Internasional (IFAB), akhirnya menyetujui usulan untuk membatasi perayaan gol, khususnya selebrasi dengan melepas kaos. Hal tersebut tercantum dalam perubahan Laws of the Game di Law 12, yang berlaku 1 Juli 2004 silam.

Laws of the Game bahkan secara jelas menyebutkan bahwa bentuk selebrasi gol yang dilakukan secara kolektif seperti koreografi lebih baik tidak dilakukan oleh pesepakbola. Selebrasi menghampiri atau berbaur dengan penonton juga akan diberi peringatan bahkan kartu.

Berikut bunyi Laws of the Game yang mengatur selebrasi gol, pada Laws 12:

"Pemain dapat merayakan ketika gol dicetak, tetapi perayaan itu tidak boleh berlebihan; Perayaan koreografi tidak dianjurkan dan tidak boleh menyebabkan pemborosan waktu yang berlebihan."

"Seorang pemain harus diperingatkan, bahkan jika gol-nya dianulir, karena: memanjat pagar pembatas dan atau mendekati para penonton dengan cara yang menyebabkan masalah keselamatan dan / atau keamanan, memberi isyarat atau bertindak dengan cara provokatif, cemoohan atau radang, menutupi kepala atau wajah dengan topeng atau benda serupa lainnya"

Bunyi pasal Laws of the Game tersebut, bila kita berpikir negatif, maka akan menganggap bahwa kreativitas dalam merayakan selebrasi gol dibatasi. Ada kasus yang tentu masih dapat kita ingat, ketika Edinson Cavani beberapa tahun silam karena meniru selebrasi ikonik Gabriel Batistuta yaitu menodongkan senapan laras panjang.

Ironis. Sang wasit beranggapan selebrasi Cavani berlebihan dan tidak memberikan contoh yang mendidik karena sarat kekerasan. Ada juga selebrasi gol gaya Mario Balotelli. Perayaan golnya ke gawang David De Gea dengan cara menunjukkan tulisan Why Always Me? juga berakhir dengan hukuman kartu kuning. Wasit menganggap apa yang dilakukan Super Mario berlebihan. 

Padahal kalau dipikir-pikir, pesan tersebut tak bernada rasial, menghasut, atau menyerang publik secara langsung. Namun apa boleh buat, di atas lapangan wasit lebih berkuasa. Dan, nyatanya, selebrasi gol ala Christiano Ronaldo, menjadi sangat ikonik bagi publik sepak bola dunia, tanpa harus mengorbankan diri terkena kartu kuning dan merugikan tim. Tidak memancing emosi lawan atau suporter atau pihak lawan.

Cerdas selebrasi gol

Bila dalam pekan ke-9 LFP ada pelatih yang menghukum pemainnya karena selebrasi gol yang dianggap berlebihan, tentu sang pelatih, minimal sudah memahami Laws of the Game 12. Semoga, kisah pelatih menghukum pemain karena selebrasi gol yang berlebihan, dapat dijadikan teladan untuk para peelatih lainnya, terutama bagi pelatih yang mengampu sepak bola akar rumput.

Yah. Siapa pun pesepak bola yang melakukan kreativitas dan inovasi selebrasi gol dengan benar dan baik, dasarnya, tentu memahami Laws of the Game 12. Pondasinya, cerdas intelegensi dan personality.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun