Hakikat belajar secara umum dipahami sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan upaya untuk menguasai hal tertentu.
Namun, bila saya simpulkan tentang hakikat belajar menurut pengalaman saya sendiri selama puluhan tahun menggeluti dunia pendidikan, belajar adalah proses membentuk, mengubah, dan mengembangkan kecerdasan dan tingkah laku melalui praktik-praktik yang dialami. Artinya, belajar itu wajib melewati proses yang disebut "pengalaman".
Pengalaman (KBBI) adalah yang pernah dialami (dijalani, dirasai, ditanggung, dan sebagainya).
Karenanya, atas dasar pengalaman saya di dunia pendidikan, belajar itu bagi guru bukan sekadar proses mengajar dan bagi murid, bukan sekadar proses menerima materi pelajaran.
Selama ini, karena beban kurikulum, prosentasenya, masih lebih besar guru.yang hanya sampai tahap mengajar, sekadar mentransfer ilmu-ilmu sesuai mata pelajaran, belum mampu mendidik dan membuat murid dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu dalam mata pelajaran sesuai kontekstual kehidupan.
Masih terbatas, bila ukurannya Indonesia, guru-guru yang dalam proses KBM dapat mengaitkan mata pelajaran yang diampunya dengan mata pelajaran lain. Apalagi mengaitkan pelajaran yang diampunya dengan kehidupan nyata.
Semisal, saat orangtua dan murid mengeluh mengapa soal-soal pelajaran bahasa Indonesia pilihan jawabannya mirip-mirip atau bahkan boleh dibilang semua jawaban A, B, C, dan D (SMP) plus jawaban E (SMA/SMK) benar? Apakah guru sudah menjawab bahwa pilihan jawaban memang benar semua, tetapi murid harus memilih satu yang paling tepat.
Apa analogi dari model soal yang demikian, bila guru selama proses KBM tidak sekadar mengajar? Tentu guru akan mampu menjelaskan kepada orangtua dan murid bahwa tipikal jawaban soal bahasa Indonesia yang mirip atau semuanya benar itu adalah peta kecil dari kehidupan.
Dalam kehidupan, banyak hal yang harus kita lakukan, namun karena kecerdasan intelegensi dan personaliti, maka kita akan mampu memilih hal yang prioritas, hal yang paling utama dan lain-lain yang harus kita nomor satukan, kita dahulukan ketimbang hal yang lain.
Jadi, untuk mendapatkan pengalaman belajar semacam itu, maka belajar itu ada interaksi, ada tatap muka, ada perdebatan, ada contoh-contoh di depan mata yang langsung dialami saat proses KBM.
Ini kok aneh, ada pernyataan PJJ akan dipermanenkan, tanpa melihat fakta-fakta yang terjadi, tanpa mendalami apa itu hakikat belajar khususnya bagi masyarakat +62 yang berbeda karakter dengan bangsa lain.