Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hujan di Serpong

28 November 2015   22:03 Diperbarui: 17 Januari 2021   14:10 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

 

Hujan di Serpong petang ini melengkapkan indahnya hari yang telah dianugerahkan kepadaku tanpa ampun. Di pagi tadi, matahari jingga di tepi jendela taksi yang kutumpangi menuju Serpong. Sempat kusangka ia adalah purnama kesiangan namun cahayanya terlalu kencana untuk langit cerah pukul enam pagi. Sempat kuucapkan tanya bodoh dalam gumam ke diri sendiri begini, "Ih, itu bulan atau matahari?"

Hujan di Serpong membasahi Rawabuntu, yang di salah satu sudut warung makan sederhana kesayanganku, menghadiahiku teguk-teguk hangat teh manis yang mencerahkan simpul-simpul saraf otakku. Konon kata Ibuku, di dalam teh, selain tanin ada juga sedikit kadar kafein yg mampu membuat efek 'pyar' di kepala.

Tak lama, air curahan langit tiba di titik hentinya. Mengingatkanku akan jeda yang harus ada pada tiap pembacaan prosa. Seperti pula chorus yang kembali ke bait landainya. Seperti pula mata yang perlu terpejam sebelum lalu terbinar oleh cahaya.

Air membanjir di sisi tepi-tepi jalan yang kulalui dengan berjingkat-jingkat. Payung tak bisa penuh melindungiku dari basah di pundak dan punggung. Genangan air yang mengalir selalu dari dataran tanah yang lebih tinggi ke dataran yang lebih rendah. Tak sampai semata kaki tinggi genangannya. Tak sampai buatku terseret dalam pusarannya. Langkahku berjingkat tak bisakan dapat tanah kering lagi. Genangan dimana-mana hingga pasrah menjejak telapak kaki beralas kaki basah. Di saat begini tiba-tiba kuingat kemana gerangan burung-burung berlindung. Kemana gerangan kucing kampung menyelamatkan bulu-bulunya dari sergapan kuyup air hujan. Akankah mereka terus menciap, mencuit, berkicau dan mengeong di tempatnya berlindung? Ataukah diam, terdiam dan turut berdzikir bersama tetes-tetes air hujan yang berhasil menapak bumi?

Hujan di Serpong mengirimkan desau angin kencang saat deras menjadi gerimis. Sebuah kubah tak kasatmata tiba-tiba saja menaungiku untuk memenjarakan ribuan kata tentang hari-hariku. Trilyunan hamdalah masih tak sepadan untuk kuulukkan bagi seluruh keindahan yang Dilimpahkan oleh Yang Maha Sempurna.

***

Robbi auzi’nii an asykuro ni’matakalattii an’amta ‘alayya wa ‘alaa waalidayya wa an a’mala soolihan tardhoohu wa adkhilnii birohmatika fii ‘ibadikash soolihiin.

***

 

Serpong, dua delapan sebelas lima belas

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun